Gelanggang Siliah Baganti



Perjalanan yang cukup melelahkan dari Jakarta ke Batu Sangkar terbayar lunas oleh indah nya pemandangan alam Sumatera Barat dan sajian festival silek Minang dalam acara Gelanggang Siliah Baganti dan aneka kuliner (ini terjadi keesokan hari nya)

Kedatangan dan Hari Pertama

Gelanggang Siliah BagantiKami berangkat dari bandara Sukarno-Hatta Cengkareng kurang lebih pukul 15.30 dari jadwal penerbangan pukul 13.15 dan harus puas dengan hanya permintaan maaf karena penerbangan yang tertunda. Saya, Kang Ujang, Uda Aslim Nurhasan, Pak Sudirman Yan beserta Istri tiba di Bandara Padang satu setengah jam kemudian. Tujuan pertama adalah mencari rumah makan.

Perjalanan menuju Batu Sangkar dilanjutkan dengan mobil yang langsung "disopiri" oleh Uda Aslim dengan rute melalui Lembah Anai, menjelang malam tiba diringi gerimis yang makin menderas.
Gelap nya malam dan tikungan-tikungan tajam serasa jalanan benderang, lurus dan lengang bagi "sang sopir". Hanya saja mendekati Lembah Anai hambatan pertama mulai ditemui, LONGSOR, yang rupanya sudah terjadi beberapa hari yang lalu. Ada tiga titik longsor, tapi kami sepakat meneruskan perjalanan. Titik pertama kami lewati, titik kedua kami berhenti. Pemandangan indah sekaligus membuat hati miris, air terjun dipinggir jalan menderas dengan ganas, guyuran air berwarna coklat bercampur tanah menciprat sampai ke tengah jalan menciptakan tirai kabut air. Kami terpaksa berhenti. Ternyata baru saja kembali terjadi longsor antara titik kedua dan ketiga. Uda Aslim yang asli Batu Sangkar memutuskan untuk berputar dan menuju Batu Sangkar melalui Solok. Keputusan yang tepat karena kalau tidak kami akan terjebak di tengah Lembah Anai dalam hujan dan kegelapan malam.
Perjalanan panjang dan melelahkan -apa lagi bagi sang mengemudi- dari Lembah Anai menuju Batu Sangkar memutari danau singkarak  akhirnya berakhir jua sekitar pukul 12 malam . Kami menginap di rumah kakak pertama Uda Aslim, berisitrahat sejenak dan tidur.
Keesokan hari nya keramahan tuan rumah menyambut kami dengan sajian sarapan ketupat sayur khas Minang dan ketan+pisang goreng. Bagi saya yang ga tahan pedas tentu saja memilih ketan + pisang goreng dan kopi tentu nya.
Acara di hari pertama ini adalah menuju GOR untuk mengikuti upacara pembukaan Gelanggang Siliah Baganti, sebuah festival silek tradisional Minang karena memang ini tujuan utama kami. Festival ini diikuti oleh 16 aliran silat dari 45 nagari antara lain aliran silek : Kumango, Silek Tuo, Silek Tuo Langkah Duo, Silek Tuo Langkah Tigo, Silek Tuo Langkah Ampek, Sungai Patay, Harimau Campo, Harimau Minang, Kuciang Lalo, Lintau, sitaralak, Harimau Tangki, Gajah Badorong,dll.

Gelanggang Siliah Baganti - pasangSetelah sempat tertunda beberapa jam, acara pembukaan di mulai. Sambutan-sambutan adalah hal yang lumrah dalam setiap seremonial dan tidak perlu diuraikan di sini.  Cuma satu yang menarik, dalam sambutan pembukaan,  Wakil Bupati menyebutkan selamat datang bagi teman-teman dari Jakarta dan terima kasih telah hadir. Disebutkan pula bahwa kami berasal dari silat Cikalong, Golok Seliwa dan Perisai Putih. Rupanya jauh-jauh hari Uda Aslim sudah menginformasikan kedatangan kami dan memberikan data kepada panitia.
Sajian pembukaan terdiri dari atraksi silek kumango oleh dua orang tuo silek (sebutan bagi senior/pelatih di silek Minang), Silek Lintau, tari piring oleh anak-anak usia SD dan "debus" ala Minang. Selanjut nya festival hari pertama menampilkan hanya beberapa aliran antar lain LINTAU, SUNGAI PATAY dan KUMANGO. Setiap aliran menampilkan enam pasangan yaitu kelompok anak-anak, remaja, dan dewasa masing-masing putra dan putri. Di tengah acara pada saat istirahat ditampilkan peragaan oleh para tuo silek berganti-ganti aliran. Sungguh menarik.
Hari pertama ini kami beraktivitas di GOR, merekam peristiwa (banyak moment yang luput karena kendala teknis seperti batrei yang habis dan memory card yang penuh-kesalahan yang tidak boleh diulangi). Tidak ketinggalan juga kesempatan berkenalan dengan tokoh-tokoh sepuh silek Minang, Alhamdulillah.
Kembali ke rumah sekitar pukul sebelas malam, bercengkerama, dan beristirahat sampai akhir nya tertidur kelelahan. Oh iya, sore hari nya datang sahabat silat yang lama tidak jumpa yaitu Yoga Putra Setiawan yang tinggal di Pekan Baru, datang khusus membantu meliput event ini dengan kamera profesional nya.

Hari Kedua

Jadwal pertama ke bandara, menjemput Ipam yang memang datang belakangan. Perjalanan dari Batu Sangkar ke Bandara melalui Lembah Anai, kali ini udara cerah dan bersahabat (walau kadang diselingi sedikit gerimis) sehingga kami dapat menikmati sajian pemandangan indah sepanjang jalan.

Perhentian pertama, makan Sate Mak Syukur yang sangat direkomendasikan kawan-kawan dari Minang. Jadi,  ini lah wisata silat dan wisata kuliner. Perjalanan dilanjutkan menuju Lembah Anai diiringi hujan gerimis. Kali ini tanpa hambatan berarti hanya sedikit antrian kendaraan di tiap titik longsor. Kami pun tiba di air terjun Lembah Anai, sungguh indah dan menarik karena berada tepat disisi jalan utama. Sungguh sayang anugerah Tuhan ini yang indah ini malah dirusak oleh tangan-tangan serakah manusia. Longsor ini tentu saja karena area hutan di atas nya, wilayah sekitar nya telah gundul habis dibabat.
Melanjutkan perjalanan, kali ini singgah terakhir sebelum ke bandara adalah ziarah ke makam Syech Burhanudin di Pariaman, menyusuri tepi pantai dan beberapa sisa gempa yang belum terurus. Tidak lama kami di sana karena harus segera ke bandara menjemput Ipam yang sudah landing. Tidak banyak cerita dalam perjalanan kembali ke Tanah Datar, kecuali hujan sepanjang jalan.
Sehabis makan malam kami kembali ke GOR untuk melihat dan meliput festival selanjut nya.  Malam kedua ini aliran silat KUMANGO yang banyak tampil. Satu hal yang dapat saya catat, dari beraneka ragam nya silek tradisional Minang kesamaan tetap ada, antara lain tata cara menghormat, pola langkah, kuda-kuda yang cenderung rendah walaupun ada juga yang tegak tetapi pada saat  melangkah rata-rata rendah dan kaki yang bersilang. Gerakan tangan yang gemulai juga menjadi ciri khas silek Minang. Keras dalam aplikasi tetapi lembut dalam melangkah dan "menari dalam rangkaian jurus". Sungguh menarik. Apa yang ditampilkan dalam festival ini adalah seni semata, tidak ditunjukkan aplikasi sebenar nya dalam pertarungan. Karena ini adalah semata pentas seni untuk memperkenalkan kekayaan budaya dan menumbuhkan rasa cinta terhadap silek tradisional Minang.
Para peserta berpasangan sesuai kelompok umur dan jenis kelamin. Mereka memainkan jurus dan aplikasi dari alirannya masing-masing. Sistem penilaian menyangkut antara lain : keaslian jurus dan teknik, kekayaan teknik kuncian dan jatuhan, keindahan, stamina, dll. Tim penilai terdiri dari tiga orang juri dengan satu tim pengawas yang terdiri dari sesepuh. Penilaian juri harus obyektif, apabila ada salah satu orang juri yang memberikan nilai sangat menonjol (terlalu tinggi atau terlalu rendah) maka nilai itu akan diabaikan.

Malam kedua ini kelelahan mulai menghinggapi kami, aktivitas yang terus menerus dan penyesuaian perut dengan masakan ala Minang membuat saya tidak berani untuk terlalu banyak makan, bahkan "berhenti makan seharian".  Ada yang masuk angin ada yang sakit perut. Malam ini kami beristirahat untuk besok melanjutkan aktivitas.
Hari Ketiga
Hari ketiga kami isi dengan wisata ziarah dan melihat berbagai situs peninggalan bersejarah. Pertama kami berziarah ke makam Guru Gadang Silek Kumango, kemudian dilanjutkan ke makam SYECH KUMANGO. Sebuah tempat peristirahatan yang indah di tengah lembah, sayang nya peninggalan bersejarah ini tidak terawat sebagaimana situs-situs yang lain. Surau peninggalan SYECH KUMANGO dibiarkan melapuk, menyedihkan.
Kunjungan lainnya tidak terlalu penting untuk diceritakan karena bisa dilihat di brosur wisata Kabupaten Tanah Datar seperti Istana Pagaruyung, Prasasti Adityawarman, makam Ustano Rajo Alam, dll. Satu hal yang menyolok adalah semua situs tersebut TIDAK TERAWAT.
Tujuan akhir adalah BUKIT TINGGI, makan dan belanja. Tidak asing dan tidak aneh soal nya kata teman-teman "rugi ke Minang kalau tidak wisata kuliner" . sayang nya beberapa dari kami sudah tak kuat makan lagi.

Dari Bukit Tinggi malam hari nya kami kembali meliput Gelanggang Siliah Baganti. Karena ini malam terakhir saya di Tanah Datar, esok hari sudah harus kembali ke jakarta. Saya terpaksa pulang lebih dulu karena Kang Ujang harus berada di Cianjur pada hari rabu disebabkan tanggung jawab pekerjaan. Kegiatan hari terakhir dan penutupan terpaksa saya lewatkan dengan berat hati. Kelelahan malam ini terbayar lunas dengan kepuasan menikmati indah nya alam Minangkabau dan sajian silek Minang yang sangat menarik. Malam ini semua kelelahan, masuk angin, sakit perut dan ngantuk tak tertahan. Ipam pun terpaksa minum obat.

Hari selasa pagi

Ini hari terakhir saya dan Kang Ujang, badan sudah terasa segar. Nafsu makan kembali datang dan kami semua sudah bugar kembali. Sayang sekali saya harus pulang. Kami ke pasar menikmati sarapan pagi, bubur kampiun, nasi goreng, ketan dan teh manis. Nimat sekali. Saya pun berangkat ke bandara, tinggallah Ipam, uda aslim dan yoga di sana meliput kegiatan hari terakhir. Dengan ini maka cerita yang saya sampaikan berakhir di sini.
Ini adalah catatan saya, yang saya tulis berdasarkan persepsi dan pengalaman yang saya tangkap selama berada di sana, tentu saja ada banyak kekurangan dan perhatian yang luput di sana-sini. Kalau pun ada penafsiran dan deskripsi yang kurang tepat, sudilah menerima nya karena sebatas ini lah kemampuan saya.

Wabillahi taufik wal hidayah

link terkait:
http://sahabatsilat.com/forum/index.php/topic,1547.0.html
http://sahabatsilat.com/forum/index.php/topic,1579.msg32667/topicseen.html#new
http://picasaweb.google.com/rasyid.aj/AJourneyToWestSumatera?feat=content_notification#



 

Forum Sahabat Silat