Silek adalah nama Minangkabau buat seni beladiri yang ditempat lain dikenal dengan Silat. Sistem matrilineal yang dianut membuat anak laki-laki setelah akil balik harus tinggal di surau dan silat adalah salah satu dasar pendidikan penting yang harus dipelajari oleh anak laki-laki disamping pendidikan agama islam. Silek merupakan unsur penting dalam tradisi dan adat masyarakat Minangkabau yang merupakan ekspersi etnis Minang.
(Gambar 1.1 Pendekar silek aliran Sitaralak dalam posisi kudo-kudo)
Silek sudah merasuk dalam setiap kehidupan sehari-hari dan muncul sebagai unsur penting dalam cerita rakyat, legenda, pepatah dan tradisi lisan di Minangkabau. Ada banyak jenis aliran beladiri silek di Sumatera Barat dan dapat dikatagorikan dalam sebelas aliran silek yang berhasil didata antara lain:
- Silek Kumanggo
- Silek Lintau
- Silek Tuo
- Silek Sitaralak
- Silek Harimau
- Silek Pauh
- Silek Sungai Patai
- Silek Luncua
- Silek Gulo Gulo Tareh
- Silek Baru
- Silek Ulu Ambek
Menurut Hiltrud Cordes hanya sepuluh pertama saja yang dapat digolongkan sebagai aliran beladiri silek tetapi silek Ulu Ambek banyak terdapat pada pesisir Pariaman.
Jenis beladiri silek diatas ditemukan dibanyak tempat di Sumatera Barat meskipun banyak jenis lain yang lebih lokal bahkan ada yang hanya terdapat dalam suatu kampung saja dan untuk yang terakhir ini lebih tepat rasanya untuk disebut perguruan silek daripada aliran yang sebagian besar menamakan aliran sileknya dengan nama kampung asal aliran silek itu berasal dan tidak mengasosiasikan diri mereka dengan salah satu aliran diatas, malah beberapa menamakan diri dengan nama yang unik seperti Harimau Lalok, Gajah Badorong, Kuciang Bagaluik atau Puti Mandi.
Metoda Latihan Silek
Silek biasanya dilakukan ditempat yang disebut sasaran, sebuah tempat terbuka atau kosong dan luas yang dekat dengan rumah guru silek. Latihan beladiri silek dilaksanakan pada saat menjelang malam setelah sholat magrib dan berlangsung selama 2-3 jam meskipun kadang sampai tengah malam. Latihan beladiri silek juga dilakukan dengan pencahayaan seadanya seperti cahaya bulan, obor atau lampu minyak tanah. Hal ini dilakukan untuk melatih ketajaman penglihatan dan juga sebagai latihan intuisi. Kadang-kadang latihan silek ini juga dihadiri oleh penghulu desa dan diiringi oleh nyanyian, talempong ataupun saluang. Pakaian silek adalah galembong (celana hitam), taluak balango dan destar.
(Gambar 1.2 Murid dari perguruan silek sedang berlatih dimalam hari)
Latihan beladiri silek tidak dilakukan pemanasan seperti aliran beladiri di asia pada umumnya. Dua orang dengan ukuran fisik dan kemampuan tehnik yang sama bermain silek dalam sasaran dengan pengawasan yang ketat dari sang guru dan disaksikan oleh murid-murid yang lain. Permainan silek (demikian sebutan untuk sesi latihan) berlangsung setelah peserta memberi hormat pada guru dan kemudian pada lawan mainnya, setelah permainan usai penghormatan berlangsung sebaliknya. Suasana latihan biasanya santai dan jauh dari kesan formal dimana latihan fisik yang keras bukan prioritas tertinggi.
Waktu rata-rata yang diperlukan untuk menamatkan pendidikan dasar silek adalah 6-8 bulan dan untuk memiliki dasar silek yang baik seorang murid harus belajar secara teratur selama 2-3 tahun. Sedangkan untuk dapat menjadi master atau pendekar dalam beladiri silek diperlukan latihan selama 15 tahun.
Dalam latihan beladiri silek, murid berbaris ataupun membentuk lingkaran dan meniru gerakan dari guru ataupun murid senior. Guru biasanya memberi aba-aba dengan suara atau tepukan tangan untuk menandakan perubahan gerakan yang disebut tapuak. Setelah cukup mahir dengan tehnik dasar, murid disarankan untuk berlatih dengan murid lain yang berbeda ukuran fisik hingga mampu beradaptasi dengan berbagai postur, gerakan dan tingkatan tehnik.
Strategi dasar dari silek ini adalah garak-garik yang dapat diartikan sebagai aksi dan reaksi yang seimbang. Garak-garik dapat dianalogikan seperti permainan catur dimana masing-masing memiliki beberapa pilihan jurus dan harus memilih jurus yang paling efektif untuk dilaksanakan. Masing-masing harus mengantisipasi semua kemungkinan gerakan dari lawan dan mampu memanipulasi lawan untuk mengambil langkah sehingga lawan memiliki lebih sedikit pilihan jurus dan pada akhirnya tidak memiliki jurus lagi untuk dilancarkan. Tetapi tidak seperti catur, dalam beladiri silek waktu adalah hal yang penting, setiap langkah dan jurus harus dilancarkan secara cepat, tepat dan penuh kejutan sehingga lawan gagal mengantisipasinya. Semakin ahli para pemain semakin lama permainan ini berakhir.
Apabila seorang murid telah cukup mahir dalam tehnik maupun fisik serta mampu mendapat kepercayaan dari sang guru maka ia akan mendapat latihan pribadi khusus dari sang guru. Dalam proses mengajarkan pengetahuan khusus ini, murid disumpah untuk menggunakan ilmu beladiri ini untuk kebaikan.
Latihan tingkat lanjut lain berupa mengirim murid kedalam hutan untuk meditasi, menaklukkan rasa takut dan bertahan hidup selama beberapa hari dihutan. Latihan yang kurang berbahaya adalah dengan mengirim murid untuk latih tanding dengan perguruan silat lain.
Aspek Seni dari Silek
Beberapa karakter dari silek membuatnya dapat dilaksanakan seperti tarian karena itu silek sering diiringi oleh musik dan lagu dimana para pemain musik mencocokkan irama musik dengan gerakan para pendekar silek.
(Gambar 1.3 Suasana latihan silek di Minangkabau dalam formasi yang disebut galombang diperagakan oleh murid silek tingkat dasar)
Sebuah karakter unik dari silek adalah barisan melingkar (galombang) yang dipakai saat latihan pada beberapa aliran silek. Setiap peserta latihan melaksanakan gerakan secara simultan sehingga memberikan kesan seperti tarian. Maka tidaklah mengherankan bila seni beladiri silek merupakan asal dari banyak seni tari dan seni teater di Minangkabau seperti randai, tari ratak, tari persembahan dan tari tanduk (tari tanduak).
(Gambar 1.4 Tarian ratak yang banyak mengambil gerakan silek diperagakan oleh kaum wanita juga)
Cerita menarik tentang pendekar-pendekar silek minang dapat dibaca pada tulisan : Si Pitung dari Padang
Reference:
Kirstin Pauka, Journal of Asian Martial Arts, Volume 6 Number 1 - 1997
Corder, H. (1990). Pencak silat: Die kampfkunst der Minangkabau und ihr kulturelles umfeld. Ph.D. dissertation, University of Köln.
Draeger, D. (1969). Comprehensive Asian fighting arts. Rutland, VT: Charles E. Tuttle.
Kirstin Pauka. (1972). Weapons and fighting arts of the Indonesian archipelago. Rutland, VT: Charles E. Tuttle.
Kirstin Pauka. (1995). Martial arts, magic, and male bonding: The pauleh tinggi ceremony of West Sumatra. Journal of Asian Martial Arts, 4(3): 26-45.
Kirstin Pauka . (1996). Conflict and combat in performance: An analysis of the Randai folk theatre of the Minangkabau in West Sumatra. Ph.D. dissertation with CD-ROM, University of Hawaii.
Source : http://www.pelaminanminang.com