OSIS Silat, dan Karakter Unggulan
Memberdayakan OSIS untuk Memasyarakatkan Silat dan Mengembangkan Karakter Unggulan
oleh: Ganar Adhitya, 18thn, Deli Tua
( Juara Harapan Lomba Penulisan Artikel Silat )
Silat dan generasi muda. Mungkin sulit membayangkan bagaimana dapat menyandingkan keduanya dalam suatu hubungan yang saling mendukung. Silat, sebagai seni beladiri tradisional asli Indonesia, jelas berada pada kutub bertentangan dengan keberadaan generasi muda masa kini yang, karena pengaruh westernisasi cenderung beranggapan bahwa semua peninggalan tradisi adalah terbelakang dan menghambat tercapainya kemajuan. Padahal, meminjam pendapat Michael R. Dove, seorang antropolog pembangunan, tradisional tidak harus berarti terbelakang.
Sebagai contoh, lihat saja bagaimana dua bangsa Asia Timur, yaitu Jepang dan Cina, telah lama menggabungkan kearifan lokal serta tradisi spiritualitasnya yang kaya dengan inovasi dan kemajuan ilmu pengetahuan modern. Jepang, misalnya, selalu memadukan prinsip-prinsip manajemen modern dengan tradisi Kaizen yang diwarisi dari era Samurai dahulu. Bukan hanya itu, dalam proses modernisasi Jepang, nilai-nilai tradisional seperti ’loyalitas tanpa batas pada Kaisar’ akan teramat mudah diubah menjadi ’loyalitas pada perusahaan’, sehingga sangat membantu meningkatkan produktivitas tenaga kerja dan mengurangi pembajakan atau pun perpindahan tenaga kerja antar perusahaan. Sedangkan di Cina, nyaris semua gedung bertingkat yang ada di kota-kota besar negeri Tirai Bambu itu dirancang berdasarkan prinsip Feng Shui, meski tentunya tanpa mengabaikan kaidah-kaidah arsitektur modern.
Sayangnya, kesadaran mengenai berharganya peninggalan tradisi tampaknya belum dihayati oleh generasi muda Indonesia. Mereka masih lebih memilih untuk menekuni karate (Jepang), taekwondo (Korea), wushu (Cina), atau capoeira (Brasil), ketimbang mempelajari silat. Hal mana tercermin pula dalam sebuah survei sederhana yang dilakukan oleh OSIS SMA Harapan Mandiri pada bulan Januari 2012 lalu ketika akan menjaring pendapat para siswa/i mengenai usulan kegiatan ekstrakurikuler beladiri baru yang akan mulai dilaksanakan pada awal tahun ajaran 2012/2013 mendatang, 45% memilih karate, 35% memilih capoeira, dan 15% memilih wushu. Hanya 5% yang menghendaki silat dijadikan kegiatan ekstrakurikuler. Walau hasil survei ini memang tak memenuhi syarat keterwakilan untuk digeneralisasi, tapi setidaknya dapat sedikit memberi gambaran mengenai citra silat di mata generasi muda masa kini.
Apakah yang bisa dilakukan agar silat bisa semakin akrab dengan keseharian generasi muda ? Salah satu unsur di sekolah yang dapat diberdayakan untuk mendukung tujuan dimaksud adalah Organisasi Siswa Intra Sekolah (OSIS). Mengapa OSIS ? Jawabannya karena, sebagai satu-satunya organisasi resmi kesiswaan di sekolah, OSIS dan segenap jajaran pengurusnya berpotensi mengambil peran signifikan dalam mempengaruhi perilaku siswa/i lainnya.
Ambil saja contoh sang Ketua OSIS. Di kebanyakan SMA seluruh Indonesia, seorang Ketua OSIS lazimnya dipilih langsung oleh seluruh siswa/i sebagai bentuk pembelajaran berdemokrasi. Namun, pemilihan Ketua OSIS sama sekali tak seperti pemilihan Kepala Daerah yang disarati politik uang, pengerahan birokrat demi menggalang dukungan, kampanye negatif, maupun upaya pemanfaatan isu etnisitas (putra daerah), agama, atau golongan. Seorang Ketua OSIS biasanya terpilih karena kemampuannya menampilkan generalitas gemerlap dan merangsang keikutsertaan. Keduanya, dengan sedikit penyesuaian, dapat dimanfaatkan untuk mendukung upaya membentuk citra positif silat di kalangan sebayanya.
Mari kita simak yang pertama, yakni generalitas gemerlap. Dalam hal ini, seorang Ketua OSIS biasanya terpilih karena mampu melekatkan diri dengan suatu citra atau pandangan yang positif, untuk menarik sebanyak mungkin simpati dan dukungan. Ia bisa saja menyebut dirinya sebagai ”calon Ketua OSIS yang akan membawa perubahan” atau ”calon Ketua OSIS yang berpihak pada kepentingan siswa”. Generalitas yang gemerlap ini kelak, jika ia telah terpilih, dapat dimanfaatkan untuk mengkampanyekan berbagai hal semisal dengan mengusung tema, ”Silat adalah budaya Indonesia, mari cintai dan lestarikan bersama.”
Ketua OSIS terpilih dapat pula memanfaatkan keterampilannya merangsang keikutsertaan demi membantu mengakrabkan kaum muda dengan silat. Hal ini karena, pada dasarnya, semua orang memiliki kecenderungan untuk mengikuti arus pendapat umum. Jika saat berkampanye, ia mengatakan bahwa ”Saya sudah didukung oleh begitu banyak siswa, bagaimana dengan kamu ?” atau ”Ikutilah langkah mereka yang sudah menentukan pilihan tepat, yakni dengan memilih saya !”. Setelah berhasil terpilih, ia bisa sedikit menyesuaikan ucapannya, ”Saya berlatih silat, bagaimana dengan kamu ?” atau ”Ratusan kaum muda di seluruh Indonesia telah mengakrabi silat, tunggu apa lagi ?”
Bukan hanya Ketua OSIS sebenarnya. Jika memang memiliki keresahan terkait makin dilupakannya silat oleh generasi muda, pengurus OSIS lainnya pun dapat pula memberdayakan diri sesuai bidang tugasnya masing-masing. Mengenai susunan kepengurusan OSIS, memang tidak ada aturan baku yang mengaturnya sebab lazimnya disesuaikan dengan situasi daerah maupun sekolah masing-masing. Namun, secara umum, seorang Ketua OSIS biasanya dibantu oleh Wakil Ketua, Sekretaris, Bendahara, dan beberapa Ketua Sie (Sie Ketaqwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, Sie Wawasan Kebangsaan dan Nasionalisme, Sie Wawasan Keilmuan, Sie Apresiasi Seni Budaya dan Daya Kreasi, Sie Olahraga dan Kesehatan).
Sie Ketaqwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, khususnya Sub Sie Agama Islam, pada awalnya, dapat mengawali dengan mengangkat sejumlah kenyataan bahwa ajaran Islam bersikap terbuka terhadap berbagai bentuk tradisi, sepanjang tidak bertentangan dengan Al-Qur’an dan hadist Nabi Muhammad SAW. Tradisi bahkan acapkali memberi kontribusi positif bagi pembentukan praktek keberagamaan yang sehat. Sebut saja, misalnya, tradisi halal-bihalal sebagai bentuk pribumisasi ajaran Islam. Oleh sebab itu, tak ada alasan untuk tak mengakrabi silat yang merupakan wujud kekayaan tradisi Indonesia. Terlebih, dalam silat, juga terdapat penghormatan terhadap praktek keberagamaan, yakni adanya ritual ’berdoa dipimpin oleh pelatih’ pada upacara pembukaan latihan.
Penghayatan terhadap ajaran Islam tadi selanjutnya perlu diarahkan agar menekankan pada nilai-nilai substantif (bukan formalis, simbolis, atau eksklusif), menampilkan wajah ramah agama, toleran, dan menghargai perbedaan. Diharapkan, selain kian mengakrabkan generasi muda dengan silat, juga akan menciptakan harmoni dalam pergaulan di sekolah yang nantinya dapat ditularkan kepada masyarakat luas.
Sementara itu, Sie Wawasan Kebangsaan dan Nasionalisme dapat menindaklanjuti dengan mengangkat fakta bahwa mengakrabi silat sama saja artinya mencintai Indonesia. Bagaimana pun, silat adalah bagian dari identitas bangsa Indonesia. Silat, dengan beragam aliran dan perguruan yang tersebar di sepenjuru negeri, menunjukkan betapa kayanya budaya dan kearifan lokal Indonesia.
Apakah sebenarnya yang dimaksud dengan kearifan lokal ? Secara umum, kearifan lokal dapat dimaknai sebagai gagasan-gagasan setempat (local) yang bersifat bijaksana, penuh kearifan, bernilai baik, yang tertanam dan diikuti oleh anggota masyarakatnya. Dalam kearifan lokal, terkandung pula kearifan budaya lokal. Adapun kearifan budaya lokal ialah pengetahuan lokal yang sudah sedemikian menyatu dengan sistem kepercayaan, norma, dan budaya, serta diekspresikan dalam tradisi dan mitos yang dianut dalam jangka waktu lama. Adapun silat adalah satu di antara beragam wujud kearifan budaya lokal dimaksud.
Kebesaran sebuah bangsa memang sejatinya bukan semata bergantung pada tingginya laju pertumbuhan ekonomi atau meningkatnya cadangan devisa, melainkan juga tampak dari kekayaan budayanya serta sejauh mana seluruh pemangku kepentingan (stakeholders) masyarakat berupaya mempertahankan dan mengembangkannya. Maka, sudah selayaknya para pemuda yang dihidupi negeri ini menunjukkan nasionalismenya, salah satunya, dengan mengakrabi, mencintai, dan melestarikan silat.
Bagaimana halnya dengan Sie Wawasan Keilmuan ? Sie ini lazimnya bertugas menumbuhkan semangat mengembangkan penguasaan ilmu dan mengasah kemampuan melalui kompetisi dengan siswa/i lainnya baik dalam satu sekolah maupun antar sekolah. Secara berkala, bekerja sama dengan Sie Apresiasi Seni Budaya dan Daya Kreasi, Sie Wawasan Keilmuan juga bertanggung jawab mengisi rubrik pendidikan di mading sekolah. Sesekali, rubrik pendidikan tersebut dapat juga diarahkan untuk memuat berbagai artikel mengenai keunikan maupun ciri khas berbagai aliran dan perguruan silat di sepenjuru Indonesia. Silek Harimau Minangkabau, misalnya, diwariskan secara turun temurun dari generasi ke generasi sebagai bekal mempertahankan diri dari ancaman saat merantau. Atau, Cimande (pencak silat Sunda) yang mencakup aspek olahraga, seni budaya/tradisi, beladiri, spiritual, dan pengobatan. Tentu penyajiannya haruslah dirancang sedemikian rupa agar menarik perhatian setiap orang yang melintas sekaligus mengandung pesan yang mudah diingat.
Sie Apresiasi Seni Budaya dan Daya Kreasi pun dapat turut ambil bagian dalam membantu mengakrabkan silat dengan generasi muda. Di antaranya, dengan menggagas semacam pentas seni atau ajang unjuk kreativitas bertemakan ’Cintai Silat’. Jika digelar Rap Competition, misalnya, peserta bisa diminta memasukkan sejumlah kata kunci terkait keunikan silat. Bila diadakan Festival Band, peserta dapat diwajibkan membuat jingle singkat ciptaan sendiri demi menggelorakan kecintaan terhadap silat sebagai beladiri tradisi nusantara. Jika digelar Cheerleaders Competition, tiap kelompok cheers diharuskan membuat yel-yel tentang silat. Berbekal sedikit kreativitas, upaya mengakrabkan silat dengan generasi muda sesungguhnya bisa dipadukan dengan berbagai unsur modernitas.
Yang terakhir, tapi juga dapat berperan penting, ialah Sie Olahraga dan Kesehatan. Dalam hal ini, mereka dapat berperan sebagai kelompok penekan (pressure group) agar silat dapat dijadikan sebagai salah satu kegiatan ekstrakurikuler di sekolah. Selain itu, bekerja sama dengan Ikatan Pencak Silat Indonesia (IPSI) atau komunitas lain yang peduli pada pengembangan silat, dapat diberikan pelatihan guna meningkatkan pemahaman anggota Sie Olahraga dan Kesehatan mengenai berbagai aspek terkait keberadaan pencak silat. Mereka ini nantinya akan menjadi Kader Sahabat Silat yang diterjunkan sebagai pendidik sebaya (peer educator) untuk menggelorakan kecintaan terhadap silat di kalangan kelompok sebayanya.
Dengan melibatkan OSIS dalam upaya mengakrabkan silat dengan generasi muda, tanpa disadari sesungguhnya telah tercapai dua tujuan sekaligus, yakni semakin akrabnya silat dengan kaum muda dan terbentuknya karakter unggulan sebagaimana diamanatkan oleh Peraturan Menteri Pendidikan Nasional RI No. 39 Tahun 2008 tentang Pembinaan Kesiswaan. Karakter unggulan apa saja yang dimaksud ? Beberapa yang tampak nyata pada uraian sebelumnya, antara lain, peduli sosial, religius, toleransi, semangat kebangsaan, cinta tanah air, tanggung jawab, rasa ingin tahu, kreatif, kerja keras, dan mandiri.
Karakter-karakter unggulan tersebut diyakini sejumlah pihak sebagai solusi terbaik untuk menghindari kebangkrutan peradaban bangsa Indonesia akibat banyaknya generasi muda yang menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi, namun tanpa karakter atau nilai sebagai pedoman bersikap serta berperilaku. Sedemikian pentingnya pembentukan karakter, terutama pada lembaga pendidikan, hingga sejumlah tokoh besar memberikan sanjungan terhadapnya. Mahatma Gandhi, misalnya, pernah menyebut tentang salah satu dari tujuh dosa fatal, yakni pendidikan tanpa karakter (education without character). Dr. Martin Luther King juga tak lalai menegaskan bahwa kecerdasan ditambah karakter merupakan tujuan akhir dari pendidikan sebenarnya (intelligence plus character is the goal of true education). Tak ketinggalan pula Theodore Roosevelt mengingatkan betapa mendidik seseorang semata dalam aspek kecerdasan intelektual dan bukan aspek moral adalah menyemai ancaman bagi masyarakat (to educate a person in mind and not in morals is to educate a menace to society).
Sekali merengkuh dayung, dua tiga pulau terlampaui. Sekali berupaya mengakrabkan silat dengan generasi muda, terbentuk pula karakter unggulan sebagaimana dicita-citakan bersama. Semoga takkan menjadi gambaran ideal (das sollen, idealita) yang berjarak terlalu jauh dengan kenyataan (das sein, realita). Mari bersama cintai dan lestarikan silat menuju Indonesia berbudaya dan berkarakter !