Akhirnya Film yang ditunggu-tunggu oleh kalangan pecinta silat sudah dapat di saksikan mulai 6 Agustus 2009. Komunitas Silat Indonesia mendapat undangan nontong bareng dengan sutradara (Gareth Huw Evans) dan pemain utama ( Yuda -Iko Yuwais) dan hadir juga beberapa pemain utama lainnya di Gala Premier pada hari Kamis, 30 Juli 2009 jam 19.30 di Cinema XXI, Plaza Indonesia, Komunitas Silat Indonesia di wakili oleh anggota Milis SilatIndonesia.com dan Anggota Forum Diskusi SahabatSilat.com.
Film ini setidaknya menjadi daya tarik tersendiri bagi pengemar beladiri silat tradisonal dimana gerakan-gerakan silat dapat disaksikan dengan cukup menarik, tidak ada gaya yang mengada-ada semua gerakan murni gerakan aksi silat yang cukup memukau.
Latar belakang budaya khususnya budaya minang memang menjadi bagian utama film ini, walaupun dalam perjalanan film ini memang masih agak kurang terangkat, sedangkan jalan ceritanya mudah di cerna. Secara umum Film ini patut di tonton, apalagi bagi pesilat yang ingin melihat aksi silat yang berbeda dari film silat pada umumnya.
Walaupun ceritanya mudah di cerna teryata bila kita sedikit teliti banyak filosofi yang ingin di sampikan kepada penonton, dimana filosofi tersebut memberikan gambaran yang nyata akan identitas sebagai manusia. dan Agama dan Silat menjadi Identitas yang sangat kuat.
Pada Awal bulan agustus ini seluruh bioskop di Jakarta mulai memutar Film ini dan perhatian penonton cukup besar, ini bisa di lihat dari beberapa bioskop yang penuh sesak oleh penonton, apalagi pada sabtu dan minggu, kursi terisi penuh. Dan Uniknya penonton umumnya adalah para pesilat ataupun orang-orang yang berasal dari sumatra barat khususnya warga Minang yang tinggal di Jakarta.
Foto2 By Sahabatsilat.com
Berikut petikan berita dari koran republika tentang gambaran film ini.
Republika- Setiap Laki-laki dewasa asal Minangkabau memiliki kewajiban berkelana atau merantau, guna menjalani semacam ritual pembuktikan diri sebagai lelaki sejati. Tradisi tradisional masyarakat Sumatera Barat itu lantas menjadi judul film garapan anyar sutradara asal Inggris Gareth Huw Evans.
Tak hanya mengangkat nilai tradisi, film Merantau juga memiliki misi khusus untuk menyelamatkan tradisi lain yang tak kalah penting,yakni silat harimau. Silat ini merupakan satu dari sekian banyak jenis silat nusantara yang terancam punah. Bukan kebetulan, sang sutradara merupakan penggila berat pencak silat.
"Saya itu sebenarnya berniat membuat film dokumenter bersama ibu Christine (Hakim) tentang silat Harimau. Tapi terlintas untuk membuat film tentang silat ini juga, yang terjadi malah yang selesai filmnya dahulu," tutur Gareth usai preview film Merantau di Jakarta, Kamis (29/7).
Dari setiap adegan, bisa begitu jelas misi yang diemban dalam film. Adegan dimulai dengan menampilkan sejumlah gerakan dari silat harimau oleh Yuda (Iko Yuwais). Lantas, alur pun mengalir pada sebuah momen, dimana Yuda telah memasuki usia dewasa dan harus menjalani ritual tradisi yang telah dipercaya sejak dahulu.
Khusus penggambaran ritual, Gareth nampak begitu saklek menerapkan segenap penafsirannya tentang ritual rantau dalam tradisi Minang. pada bagian awal ini, memang begitu mengena. Meski pembangunan alur begitu singkat,penonton bisa memahami dengan mudah bagian ini.
Usai memberikan tampilan mengharukan pada bagian awal, kekuatan film ini pun dimulai dengan menampilkan jurus demi jurus silat Harimau. Khusus bagian ini, Gareth mempercayakan pos koreografer kepada guru besar Silat Harimau Edwel Yusri Datuk Rajo Gampo Alam.
Diakui Gareth, khusus bagian berkelahi memang merupakan hal yang tersulit. Dengan ragam jurus yang terdapat pada silat Harimau tentu menjadi persoalan tersendiri guna menghadirkan adegan aksi yang enak ditonton."Pola berkelahi memang hal yang sulit karena harus menyesuaikan diri dengan lokasi syuting yang ada," aku Gareth.
Dia benar, seandainya adegan berkelahi tidak menggunakan secara utuh kuda-kuda silat harimau maka bisa jadi adegan aksi film "Merantau" sama dengan film-film bergenre sama yang telah lebih dahulu hadir. Tentu dengan mengesampingkan penggunaan bedak dalam setiap adegan.
Tapi perlu digaris bawahi pula, seandainya Gareth tidak menampilkan beberapa scena terkait emblem berlambang Silat Harimau. Barangkali penonton bakal terkecoh dan menganggap jurus-jurus yang digunakan dalam adegan aksi hanyalah jurus biasa layaknya dalam film aksi. Secara umum, adegan demi adegan mengalir dengan enak. Jurus demi jurus begitu nikmat dipandang mata. Minimnya penggunaan senjata api menambah hidup adegan.
Yuda (iko Yuwais), yang notabene bukanlah asli aktor melainkan atlit pencak silat begitu luwes menampilkan gerakan dengan bersihnya. Begitu pula dengan lawan mainnya seperti Eric (Yayan Ruhian), Ratger (Mads Koudal) dan Lars (Laurent Buson). Semua aktor sukses menyajikan hujan pukulan yang nikmat dipandang mata dari setiap prosesnya.
"Dalam film Merantau, saya dan teman-teman dituntut untuk memperagakan gerakan-gerakan yang sulit dalam pencak silat," tutur Iko yang merupakan juara Silat Nasional ini. Diakui Iko, memang setiap pengambilan adegan terbilang seru dan penuh kejutan. Dia pun mengaku tersanjung bisa menyajikan jurus-jurus silat Harimau yang dia pelajari dengan waktu terhitung singkat.
Singkat cerita, film ini memang menyajikan sesuatu yang berbeda dengan film sejenis yang sudah terlebih dahulu ada. Teknik tata pengambilan gambar yang disuguhkan Gareth patut dipuji. Maklum saja, Indonesia masih lebih menggemari film bertema setan atau cinta sebagai jualan. Film bergenre aksi seperti kurang mendapat tempat.
Rebut Perhatian
Sebelum resmi dipertontonkan ke publik tanah air. Film Merantau lebih dahulu diputar di Cannes Festival pada 13 Mei lalu di Palais B dan 15 Mei di Lerins 2. Merantau juga menjadi film penutup dalam rangkaian Festival ke-13 Puchon International Fantastic Film Festival, Honkong Filmmart Maret lalu serta film pembuka Festival tahun ke-3 Jogya NETPAC ASia Festival.
Khusus di festival Punchon, Korea, Merantau mendapat apresiasi postif dari peserta festival. Bahkan Iko sempat diundang untuk tampil dalam sebuah acara di Korea untuk mendemonstrasikan ilmu silat dengan artis-artis Korea. "Tentunya, ini kehormatan bagi kami, bahwa film Indonesia pun memapu bersaing dengan film negara lain," tutur Gareth.
Dia berharap, meski Merantau bukanlah yang pertama khusus film bergenre aksi di Indonesia. Namun Merantau bisa meramaikan industri film tanah air. Film yang diprodusesi Ario Sagantoro ini, akan dirilis serentak di Jaringan bioskop 21 dan Blizt Megaplex pada 6 Agustus mendatang.
Serba Tanggung
Dari segi cerita, pembangunan cerita yang apik diawal film seolah tak sejalan dengan pembangunan konflik saat memasuki tengah film. Entah mengapa, konflik seolah dipaksakan tanpa membangun isu yang kuat.
Hal itu terekam saat Yuda harus menyelamatkan Astri (Sesca Jessica) dari Ratger dan Lars. Adegan pun berujung pada terminal kontainer dimana dia menyelamatkan Astri, tanpa sengaja dia juga menyelamatkan perempuan-perempuan muda yang mungkin akan diperdagangkan atau sekedar disekap dalam kontainer.
Hal lain yang cukup menganggu adalah pola ucap para pemain yang seadanya. Hanya Wulan (Christine Hakim) yang memainkan pola ucap bahasa minang terbilang baik. Hal yang sama juga dialami pemain asingnya, dari pembentukan karakter sudah baik tapi pola ucap yang membuat risih.
Gangguan lain, pemilihan latar suara. Meski bernuansa tradisi minang, tata suara yang berasal dari musik tradisi Minang macam saluang tidak terdengar. Padahal awal dan akhir adegan kental dengan nuansa Mi2nang. Latar lain yang cukup mengganggu adalah peralihan dari adegan pra klimaks mencapai klimaks. (cr2/rin)
Source : Milis SIlatindonesia dan Koran Republika.
Foto2 By Sahabatsilat.com