JAKARTA – Betawi terkenal dengan gudangnya pendekar-pendekar silat yang tersohor. Legenda si Pitung jago silat dari Marunda tetap melekat di hati masyarakat Betawi sepanjang masa. Sejarah persilatan di Betawi pun mencatat, nama perkampungan Kwitang berasal dari seorang pedagang Tiongkok, Kwe Tang Kiam yang terkenal karena ilmu silatnya yang ampuh.
Kisah ini diawali pada abad 17 ketika seorang pengembara dari dataran Tiongkok, Kwe Tang Kiam menjejakkan kakinya di tanah Betawi. Konon, Kwe Tang Kiam telah mengembara ke hampir seluruh pelosok daerah Indonesia. Di salah satu kampung di Betawi pengembara yang juga pedagang obat-obatan tersebut menetap. Selain jago dalam meracik obat-obatan, ia juga ahli dalam berolah silat. Di daerah tempat ia menetap, Kwe Tang Kiam menurunkan ilmu silatnya kepada orang-orang yang tinggal di sekitarnya.
Kehebatan ilmu silat Kwe Tang Kiam diakui masyarakat Betawi saat itu. Silat yang diajarkannya menggunakan jurus-jurus ampuh mirip aliran Shaolin yang memadukan unsur tenaga, kekuatan fisik dan kecepatan. Hal ini sangat berbeda dengan aliran silat Betawi yang lebih menonjolkan ilmu kebatinan.
Walau demikian Kwe Tang Kiam mengakui kehebatan ilmu kebatinan silat Betawi setelah mencoba keampuhan ilmu salah seorang jawara Betawi bernama Bil Ali.Terbukti, ilmu kanuragan beraliran putih yang dimiliki Bil Ali berhasil menundukkan Kwe Tang Kiam. Hingga akhir hayatnya Kwe Tang Kiam menetap di kampung ini dan dengan kesadaran sendiri ia kemudian memeluk agama Islam. Kampung tempat ia menetap pun kemudian menjadi desa kampung Kwitang, yang masuk dalam wilayah Jakarta Pusat.
Hanya untuk Keluarga
Salah satu murid dari Kwe Tang Kim adalah leluhur keluarga H. Moch Zaelani yang kemudian menjadi pewaris ilmu silat ini di daerah Kwitang. Ia pun kemudian mengajarkan ilmu silat yang ini kepada keluarganya sendiri, yakni, H Moch. Zakaria. Namun karena minat orang-orang Betawi untuk mempelajari ilmu silat ini begitu besar, maka ia pun memberi kesempatan kepada mereka untuk turut mempelajarinya.
Zaelani mendirikan perguruan pencak silat aliran Kwitang 27 September 1948 bertepatan dengan diselenggarakannya Pekan Olahraga Nasional PON I di Solo. Ketika berlangsung PON I itulah Ikatan Pencak Silat Seluruh Indonesia (IPSI) diresmikan. Waktu itu, Ketua IPSI yang pertama , Mr Wongso Negoro, mengundang para pesilat dari Kwitang untuk mendemonstrasikan kebolehannya pada pembukaan pekan olahraga tersebut.
Empat tahun kemudian, tepatnya 27 Septemebr 1952 saat dilangsungkannya PON II di Jakarta, Zaelani secara resmi mendirikan Perguruan Silat Kwitang dengan nama ”PS Mustika Kwitang”.
Perguruan ini kemudian diwariskan kepada cucunya H. Moch Zakaria Abdulrachim. Pada PON II, Zakaria tampil sebagai atlet . Ketika itu pencak silat resmi menjadi salahsatu cabang yang dipertandingkan. Pada nomor seni yang dipertandingkan. Zakaria keluar sebagai juara.
Dalam PON berikutnya, Zakaria selalu menjadi momok bagi lawannya. Bersama pesilat Mustika Kwitang lainnya ia merajai berbagai kejuaraan, seperti PON ke-III 1953 di Medan, PON ke-IV tahun 1957 di Makassar, dan PON ke- V tahun 1961 di Bandung. Ia berturut-turut tampil sebagai juara.
”Kondisinya pada waktu itu tidak seperti sekarang ini, sarana dan prasarana masih sangat terbatas. Tak jarang untuk mengikuti even pencak silat di Jakarta kami harus jalan kaki. Begitu juga ketika mengikuti PON kami naik kapal laut dan ditempatkan di sekolah-sekolah yang berada di dekat arena pertandingan. Lain dengan atlet sekarang yang diberikan fasilitas yang cukup mewah,” kenang Zakaria, yang lahir di Kwitang 22 Juni 1931 ini.
Sebagai pendekar silat, Zakaria juga merupakan salah seorang pendiri Persatuan Silat Putra Betawi yang beranggotakan 46 cabang perguruan silat di Jakarta.
Setelah PON ke-V tahun 1961 di Bandung, Zakaria mengundurkan diri sebagai atlet. Ia lebih memfokuskan perhatiannya pada perguruan yang dipimpinnya. Sejak itu PS Mustika Kwitang secara resmi terbuka untuk masyarakat umum.
Nyaris Punah
Melalui ketekunan Zakaria, PS Mustika Kwitang kian harum dengan jumlah murid mencapai ribuan pesilat yang tersebar di Jakarta, bahkan sampai Jawa Barat, Jawa Tengah hingga ke Sumatera Utara. Pada masa kejayaannya, PS Mustika Kwitang melahirkan pesilat-pesilat andal seperti Diantoro Nur, Ganda, Ishak, Lubena, Yuyu dan Latifah (pesilat putri).
Ia mengungkapkan rahasia suksesnya dalam membina anak didiknya berasal dari motivasi yang besar untuk menekuni olahraga warisan nenek moyang ini. Selain itu ia pun menganjurkan kepada murid-muridnya untuk tidak terlalu fanatik dengan perguruan. Mereka boleh mengadaptasi ilmu silat di luar perguruan untuk memperkaya ilmu silat yang mereka miliki.
”Modal utama yang harus dimiliki oleh atlet Mustika Kwitang adalah kepercayaan diri yang besar,” ungkap Zakaria. Pada tahun 80-an, Zakaria mengundurkan diri dan mewariskan ilmunya mewariskannya kepada anak-anaknya. Tapi sayang, keberhasilannya dalam membina perguruan silat tidak diikuti oleh pewarisnya itu. Perkembangan perguruan yang sudah nama di dunia persilatan ini kian terpuruk bahkan nyaris punah.
Murid-murid perguruan ini satu per satu mulai berkurang dari ribuan orang hanya tinggal beberapa gelintir pesilat saja yang masih eksis dalam mengembangkan seni pencak silat ini. Akibatnya, PS Mutstika Kwitang sulit bersaing dengan perguruan silat lain, termasuk beladiri dari luar.
Zakaria mengakui, perguruan yang dipimpinnya itu tidak memiliki pendukung serta sponsor. Selain itu, PS Mustika Kwitang hanya sedikit memiliki kader pelatih dan sistem pembinaannya tidak efisien. Di perguruan ini, tidak dikenal tingkatan yang jelas dan baku untuk menilai kemampuan murid-muridnya. Penentuan tingkatan hingga penunjukan kader pelatih masih ditentukan guru besar.
”Saya sangat prihatin dengan kondisi ini. PS Mustika Kwitang sebagai pendiri aliran silat di daerah Kwitang nyaris tenggelam. Saya tergugah untuk kembali membinanya, ” kata Zakaria. (str/eko yulianto)
SOURCE : SINAR HARAPAN