Hartini Jamin, Warga Suriname, Mencari Leluhur di Kota Santri Konon, Sarijan Jamin, kakek buyut Florence yang asli kelahiran Jombang tahun 1850 dan dibawa Belanda ke Suriname tahun 1875 adalah orang yang sakti mandraguna. Dia kerap melakukan perlawanan yang membuat Belanda kewalahan. Hingga akhirnya diasingkan ke Suriname setelah Belanda merasa kesulitan menghabisinya. Sarijan sendiri akhirnya meninggal di Suriname pada bulan April 1973 di usia 123 tahun.
ROJIFUL MAMDUH, Jombang
------------
SARIJAN sangat menjaga ilmu silat yang dibawanya dari Jombang. Dia pun mewariskan ilmu silatnya yang berjuluk Kilat Buana itu pada semua keturunannya. Termasuk pada kakek Florence, Senen Nasiroh Jamin yang meninggal pada bulan September 1973. Dan diteruskan oleh sang ayah, Marsah Noko Jamin yang meninggal Oktober 2003.
Kini, estafet ilmu silat warisan leluhur itu berada di tangan Florence. ''Dulurku limo, kabeh iso silat, mung sing karep tenan gor aku," ucap Florence sambil mengganti posisi duduknya. Paha kanan yang sebelumnya menyilang di atas paha kiri diturunkan.
Berganti paha kaki kiri yang menyilang di atas paha kanan. Meski semua saudaranya laki-laki dan dia satu-satunya perempuan. Putri ketiga dari lima bersaudara pasangan Marsah Noko Jamin dan Suyati Irodikromo ini mengaku sangat terobsesi untuk melestarikan kesenian silat yang diwariskan leluhur secara turun temurun.
Karena silat merupakan salah satu budaya dan kekayaan masyarakat Jawa terutama yang ada di Suriname. ''Eman tenan tho lek sampek punah. Piye-piye silat yo tetep duweke wong Jowo," terangnya. Baginya, silat merupakan jati diri dan identitas masyarakat Jawa yang harus selalu dipegang teguh dan dikembangkan.
Mengenakan jeans tiga perempat warna ungu dan blues hitam yang dibalut sweater merah muda, penampilan Florence terlihat modis. Layaknya remaja Amerika pada umumnya. Selama wawancara, sesekali dirinya juga meletakkan kaki di atas paha secara bergantian.
Meski ia nampak lebih senang menaruh kaki kirinya di atas paha kanan sembari memainkan gelang putih yang melingkar di mata kaki kirinya.
Sekilas Florence tidak terlihat layaknya seorang pesilat tangguh. Wanita dengan tinggi 163 cm itu nampak layaknya perempuan Jawa pada umumnya yang sederhana dan lemah lembut.
Padahal ia adalah juara silat nasional Suriname pada tahun 1996. Dia juga satu-satunya perempuan yang menjadi wasit silat internasional di Suriname. Perempuan yang tinggal di ibu kota Suriname, Paramaribo, itu kini juga menjadi pimpinan tertinggi Perguruan Silat Kilat Buana Suriname.
Hanya jabat tangannya yang menyiratkan bahwa dia juga adalah seorang pesilat tangguh. Genggaman tangannya mencengkeram kuat jari jemari saat bersalaman. Jari-jari dan telapak tangannya terasa keras dan mantap. Semua itu seakan menyiratkan tempaan latihan berat yang dijalaninya selama ini sebagai seorang pesilat.
Dirinya mengaku terus berkeinginan mengikuti turnamen silat internasional yang ada, namun even yang ditunggu-tunggu itu tidak pernah datang. ''Kono ra koyo kene, okeh silat championsip," tuturnya.
Lantaran kejuaraan silat jarang sekali digelar. Pentas sekaligus kejuaraan silat hanya digelar setahun sekali secara nasional. Pada saat peringatan Vereniging Herdenking Yavaanse Immigratie (VHYI) atau hari peringatan imigrasi Jawa yang diperingati secara besar-besaran oleh masyarakat Jawa Suriname setiap tanggal 6-10 Agustus.
Diluar itu, minim sekali ada kejuaraan silat. ''Nang jobo mung tau melu worskhop battle championship Amerika," terangnya. Yakni workshop semua aliran bela diri se-dunia.
Sebagai pimpinan tertinggi perguruan silat Kilat Buana, dirinya mengaku terdorong untuk melengkapi sejarah silat yang diwariskan leluhurnya itu.
Untuk itu dirinya ngotot datang ke Jombang tempat asal sang kakek buyut, dengan harapan dapat menemukan orang-orang yang mampu menceritakan sejarah ilmu silatnya..
Agar dirinya tidak hanya bisa, tetapi juga tahu seluk beluknya. Karena silat Kilat Buana kini bukan hanya diwarisi oleh keluarga besarnya. Tetapi juga masyarakat luas di Suriname. ''Muride yo ono sing saiki nang Kuala Lumpur (Malaysia)," katanya.
Sehingga ia sangat menyayangkan apabila sampai nanti silat Kilat Buana tidak mengalami pengembangan secara signifikan. ''Eman tho lek mung gor latihan tur diwarisno nanging ra ngerti sejarahe," terangnya.
Untuk itu dirinya kini datang bersama tutornya, Vitri Sekarsari guna mencari orang-orang Jombang yang dianggap tahu sejarah silat Kilat Buana. Tak jarang keduanya terlibat diskusi serius untuk merumuskan langkah-langkah yang akan ditempuh untuk memudahkan penelusuran. Termasuk dalam memilih lokasi dan narasumber yang akan didatangi. (yr)
http://www.jawapos.co.id