Seorang pria mengayunkan golok di tangannya dengan sekuat tenaga, berusaha untuk melukai pria lain di hadapannya. Tiba-tiba, sebelum mata sempat melihat dengan seksama, si pria pemegang golok malah jatuh tersungkur akibat terkena tangkisan lawannya.
Aksi di atas hanyalah latihan yang dilakukan di aula Padepokan Silat Taman Mini Indonesia Indah (TMII) Jakarta, beberapa waktu lalu. Dan pria yang berhasil menghela serangan tadi tak lain adalah Tubagus Bambang Sudrajat, guru besar silat asli dari Betawi.
”Cingkrik goning adalah aliran silat yang mengandalkan kecepatan. Tidak ada hitungan satu, dua, tiga seperti bela diri lain. Yang ada hanya hitungan satu, dan lawan sudah harus jatuh,” ujar Bambang, menjelaskan seputar ilmu silat cingkring goning yang ditekuninya.
Ruangan terbuka seluas 10×10 meter persegi, yang letaknya di dalam kompleks padepokan silat TMII itu, setiap Sabtu pagi diramaikan oleh para pecinta silat. Ada para peserta cingkrik goning yang sedang berlatih, anggota forum silat yang asyik mengobrol, bahkan para pengemar silat lainnya yang hanya datang untuk menonton atau berbagi cerita.
”Disini memang pusat latihan cingkrik goning, maka semua orang bisa mencari kami disini setiap Sabtu,” sahut Bambang.
Wasiat
Nama cingkrik tercetus karena beberapa gerakan utama dalam silat ini menggunakan satu kaki untuk berlompatan. Nah, lantaran orang Betawi biasa menyebutnya jejingkrikan, maka silat ini kemudian disebut jingkrik atau cingkrik.
Dalam perjalanannya, cingkrik kemudian terbagi dua, menjadi cingkrik sinan dan cingkrik goning. Perbedaan yang paling mencolok dalam duo cingkrik ini adalah, dalam cingkrik sinan, setiap ‘permainan’ menggunakan tenaga dalam atau tenaga gaib.
”Sementara cingkrik goning merupakan silat yang murni menggunakan teknik fisik semata,” tambah Bambang.
Seseorang bernama Ainin bin Urim yang biasa dipanggil Engkong Goning-lah yang mendiirikan aliran ini. Orang yang lahir di 1895 dan wafat pada 1975 ini mengajarkan ilmu silat goning di Rawa Belong, Kebon Jeruk dan Jembatan Dua. ”Tidak ada yang tahu dari mana Engkong Goning mendapatkan ilmunya,” kata Bambang.
Ilmu cingkrik ini, menurut Bambang, ia dapatkan dari salah satu murid Engkong Goning, Usup Utai, yang juga mertuanya. Sambil menyender dengan santai, Bambang mengenang wasiat terakhir Usup Utai sebelum meninggal di tahun 1993.
”Saya dipanggil dan diberikan pesan untuk melanjutkan ilmu silat ini, Usup Utai berkata agar silat ini jangan sampai mati obor,” katanya.
Dijelaskan, untuk menguasai ilmu warisan leluhur ini, seseorang harus menguasai empat tahapan. Tahap pertama yaitu menguasai 12 jurus dasar cingkrik goning. Kedua, belajar sambut, ketiga mempelajari aplikasi dari 12 jurus dasar yaitu 80 bantingan khas cingkrik goning, dan yang terakhir adalah jual beli atau sparring.
Keahlian bela diri ini menjadi menarik karena diidentikan dengan kisah Bang Pitung, seorang tokoh jagoan Betawi tempo dulu. Ditambah lagi dengan gerakan-gerakan yang mengandalkan kelenturan dan kecepatan.
”Kebutuhan untuk membela diri sekarang ini cukup tinggi, karena maraknya kejahatan di tengah-tengah kita,” kata Bambang.
Seperti bela diri lainnya, cingkrik goning juga mengaplikasi sistem tingkatan, yang tertinggi adalah saat seorang pesilat mendapatkan sabuk merah dengan lima strip. Untuk mencapai tingkatan tersebut memakan waktu maksimal 7 tahun. Bambang sendiri belajar sejak usianya masih 11 tahun, dan mulai mengajarkan ilmu warisan leluhur ini di usia 30 hingga kini di usianya yang sudah 54 tahun.
Kendala SDM
Kehidupannya sehari-hari pun disibukkan dengan menurunkan ilmu warisan ini di berbagai tempat. ”Padepokan silat TMII, Pondok Cabe, Ponpes Darul Ikhsan dan Darul Hikam, serta berbagai tempat yang meminta pengajaran privat,” ujarnya sambil tersenyum.
Biaya yang harus dikeluarkan untuk mengikuti cingkrik goning di Padepokan Silat TMII adalah Rp 20 ribu setiap kali datang, dengan frekuensi latihan satu kali seminggu. Sedangkan untuk latihan di Candradimuka Martial Art adalah sebesar Rp 200 ribu per bulan dan kelas privat di rumah peserta, seseorang harus merogoh kocek sebanyak Rp 500.000 per bulan, untuk dua jam latihan setiap sepekan sekali.
”Sebenarnya guru silat enggan memungut bayaran, karena tujuan kami adalah menurunkan ilmu agar tidak punah di kemudian hari,” tandasnya. Namun, bagaimana pun, mereka tetap membutuhkan biaya untuk kehidupan sehari-hari karena tidak ada pihak yang bisa menjamin kesejahteraan seorang pahlawan pelestari kebudayaan.
Untuk tetap melestarikan seni bela diri versi lokal ini, Bambang mengaku mengalami banyak kesulitan, salah satunya adalah sumber daya manusia. Diungkapkan bahwa hingga kini anggotanya hanya berjumlah kurang dari 50 orang. ”Malah yang berhasil mencapai tingkatan tertinggi baru dua orang, mereka saya jadikan asisten,” katanya. Maka dalam rangka menyosialisasikan cingkrik goning, Bambang bergabung dalam FP2STI.
Dia juga berharap, pemerintah lebih memerhatikan keberlangsungan cingkrik goning yang dapat dimanfaatkan untuk mendukung kegiatan visit Indonesia ini. ”Sebenarnya kami juga berminat untuk melatih aparat keamanan Negara, namun ya itu tadi masalahnya, kami kekurangan tenaga pengajar yang kompeten,” tambah pria kelahiran Bengkulu ini.
Hingga kini, usia tua bagi Bambang bukan hambatan untuk terus melatih dan menurunkan ilmu warisan dari gurunya. Demi satu tujuan, ”Agar cingkrik goning, sebagai salah satu kebudayaan tradisional Indonesia tidak musnah dimakan jaman,” katanya. c88
http://www.republika.co.id/koran/14/12749.html