Nama Pencak Silat tentu sudah lekat didengar namun bila kita menggali dari catatan sejarah lampau pra Islam maka nama tersebut ternyata tak dikenal. Sejatinya istilah Pencak Silat merupakan nama baru untuk mengambarkan suatu seni beladiri di wilayah Nusantara. Lantas apa dan bagaimana munculnya nama Pencak Silat itu?
Gusman J Nawi peneliti Pencak Silat menjelaskan sangat sedikit sekali catatan yang terkait dengan Pencak Silat atau ilmu bela diri Nusantara. "Tidak ada data sejarah tertulis yang secara eksplisit menyebut nama Pencak Silat sebagai ilmu bela diri Nusantara (Indonesia)," katanya dalam Seminar Sehari Kajian Silat, Pencak Malioboro Festival V, Yogyakarta, yang diselenggarakan Tangtungan Project, Selasa, 15 Agustus 2017.
Ia menjelaskan bahwa nama Pencak Silat merupakan istilah bentukan baru. Pencak Silat mulai disosialisasikan pada 1953 yaitu ketika terbentuk Ikatan Pencak-Silat Seluruh Indonesia (IPSSI), hingga pada Seminar Pencak Silat di Tugu, Bogor disahkan nama Ikatan Pencak Silat Indonesia (IPSI) sebagai nasionalisasi dari dua istilah Pencak dan Silat.
Menurut Gusman catatan-catatan sejarah baik berupa naskah kuno, prasasti, dan relief candi hanya memberikan gambaran secara umum dan istilah-istilah dalam bahasa Jawa Kuno mengenai aktivitas yang terkait dengan ilmu bela diri.
Naskah-naskah kuno dan prasasti di Nusantara yang ditemukan dan telah diteliti oleh beberapa pakar sejarah dan epigraf Belanda (N. J. Krom, Brandes, dll) maupun Indonesia (Boechari, R. M. Poerbatjaraka), beberapa diantaranya yang ditemukan di Jawa ada indikasi yang mengarah pada bentuk kegiatan bela diri.
Misalnya naskah hukum (awig-awig) dan prasasti dari abad 9-10 masa Dyah Balitung dan Majapahit dari abad 13-15. Antara lain pada prasasti Mantyasih (907 M), menceritakan tentang lima orang Patih yang ditugaskan untuk menumpas penjahat penggangu ketentraman desa yang terletak di sekitar Gunung Susundara (Sundara) dan Gunung Sumbing, Temanggng, Jawa Tengah.
Untuk istilah-istilah bahasa Jawa Kuno dapat ditemukan pada Kakawin Negarakertagama dimana ditemukan istilah umulat (bertarung secara gumul/gulat), kemudian terdapat pada prasasti Sanguran (928 M), seperti hastacapala (memukul dengan tangan), ludan (berkelahi), mamuk (mengamuk, perkelahian), dan turuh nin kikir (memainkan senjata tajam).
Sementara itu pada relief candi di Jawa Timur dan Jawa Tengah beberapa kegiatan yang mengindikasikan adanya aktivitas terkait ilmu bela diri, terdapat pada relief Candi Surawana di Pare, Kediri (abad 14 M). Relief tersebut menceritakan perkelahian dua orang yang melakukan teknik puntiran kepala. Relief kaki Candi Borobudur (abad 9 M) di Jawa Tengah juga terdapat adegan hampir sama, dimana kedua orang sedang melakukan perkelahian dengan mengarahkan serangan ke arah kepala.
Pada masa pemerintahan Erlangga di Kerajaan Kahuripan telah dikenal penamaan ilmu bela diri yang disebut Eh Hok Hik yang berarti Maju Selangkah Memukul. Di Kerajaan Sunda Pajajaran terdapat 20 teknik dan strategi perang, termaktub dalam naskah Siksakandha Ng Karesiyan pupuh 1814.
AWAL MULA ISTILAH SILAT - Gusman menerangkan istilah Pencak dan Silat baru ditemukan pada zaman kerajaan-kerajaan Islam di Nusantara. Kata Pencak lebih umum ditemukan di daerah Jawa sedangkan kata Silat lebih umum ditemukan di daerah dengan kebudayaan Melayu seperti di Sumatera dan Kalimantan.
Naskah syair Kerajaan Pontianak yang ditulis beberapa tahun setelah berdirinya Kerajaan Islam Pontianak (1771 M), pada bait ketiga secara eksplisit menyebut istilah Silat untuk ilmu bela diri yang diajarkan kepada Sultan Syarif Abdurrahman Al Qadrie;
Baginde senyum seraye berkate Jikalau suke rasenye cite Tuan-tuan yang mude ajarkan kite, Diajarkan Silat bermaen senjate.
Sementara di tanah Jawa dimana istilah Pencak lebih umum digunakan dapat ditemukan pada Sejarah Banten yang mengutip dari naskah Perimbon Banten, menceritakan tentang mobilisasi masyarakat Kesultanan Banten di bawah pimpinan Kyai Tapa, Ratu Bagus Buang, Pangeran Waseh (Kasemen), dan Pangeran Aria Adi Santika (adik Sultan Djainul Arifin) dalam perlawanan menghadapi Sultan Haji dan Belanda. Salah satu cara memobilisasi masyarakat itu dilakukan dengan mendirikan banyak Perguruan Pencak.
Pengguron Pentjak diperbanjak dan dipertinggi, laki-laki 10-50 tahun beladjar menggunakan sendjata siku dan klewang, pasar banjak mendjual keris, sekin, dan belati, separuh rakjat daerah bersiap.
Di Kesultanan Banten pada masa Maulana Hasanuddin berkuasa dikenal satu pasukan khusus yang terdiri dari beberapa Jawara (ahli ilmu bela diri) yang disebut Tambuh Sangkane (Rahasia). Kerajaan Bone masa kekuasaan La Pawawoi Karaeng Sigeri (Raja Bone ke XXXI) dikenal satu pasukan yang terdiri dari para pendekar Mammenca' yang disebut Laskar Pakkanna Passiuno (Laskar To Warani atau Berani Mati). Sementara itu di Kerajaan Islam Pontianak, Silat Tembong dijadikan sebagai ilmu bela diri resmi prajurit kerajaan.
Secara perseorangan di lingkungan kerajaan yang ada di Nusantara, Susuhunan Pakubuwono ke III - Raja Kasunanan Mataram Surakarta merupakan pengkreasi Pencak Silat Mataram (Kasunanan Surakarta). Keilmuannya selanjutnya diturunkan kepada cucunya yaitu R. M. Sulomo. R. M. Sulomo ketika menjadi raja bergelar Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Arya (K.G.P.A.A) Mangkunegoro II dan dijuluki Panglima Perang Seluruh Tanah Jawa atau Pangeran Adipati Prangwadana. "Ia merupakan komandan pertama Legiun Mangkunegaran yang legendaris dengan pangkat kolonel," ujar Gusman.
MASA PENJAJAHAN BELANDA - Gusman, penulis buku Maen Pukulan, Pencak Silat Khas Betawi ini menjelaskan perkembangan Pencak Silat selanjutnya masuk dalam periode Kolonial Belanda. Periode ini merupakan periode transisi dari periode kerajaan ke periode zaman kemerdekaan, dimana masa kolonial Portugis, Inggris dan Belanda menancapkan kukunya di Nusantara.
Masa Kolonial Portugis dan Inggris yang singkat tidak banyak meninggalkan jejak sejarah soal ilmu beladiri Nusantara atau Pencak Silat. Ketika kolonial Belanda perkembangan Pencak Silat mengalami "perlambatan" terutama di daerah yang jumlah dan tingkat perlawanannya terhadap pemerintah kolonial cukup tinggi misalnya daerah Banten. Namun untuk daerah-daerah lain yang dianggap "lunak" kegiatan pencak silat berjalan seperti biasa, terutama bentuk Pencak Silat yang mengacu pada kegiatan berkesenian.
Pada masa ini muncul sosok dengan sebutan jago dan jagoan sebagai orang yang memiliki kemampuan Pencak Silat, kemunculannya ditanggapi pemerintah kolonial Belanda dengan tindakan segregasi dan politik Divide et Impera, yaitu merekrut orang-orang pribumi yang kepandaian ilmu bela dirinya menyamai seorang jago. Orang-orang ini karena latar belakang yang bermacam-macam dijadikan alat penguasa di tanah-tanah perkebunan, umumnya dipekerjakan sebagai mandor, centeng, atau tukang pukul.
Bahkan dalam struktur birokrasi pemerintahan tidak jarang dari mereka diberi kedudukan resmi seperti di kota Batavia sebagai pusat VOC terdapat jabatan Wijkmeester (tuan Bek) dan Serean. Di mata masyarakat pribumi, kedudukan mereka sebagai orang yang piawai dalam hal ilmu bela diri namun lebih membela kepentingan pemerintah kolonial dan tuan tanah dengan cara menindas rakyat, dianggap menyalahi kedudukannya sebagai jago.
Saat pemberlakuan Politik Etis (1901), Pencak Silat (baik bentuk seni, olah raga, maupun bela diri) mendapat ruang gerak yang agak leluasa dibanding tahun sebelumnya. Pendokumentasian pencak silat berbentuk buku pelajaran mulai diterbitkan pun demikian dalam bentuk foto dan audio visual.
Tahun 1906 pemerintah Kolonial Belanda mengeluarkan Koninlijk Besluit nomor 270 sebagai peralihan kebijakan Plaatselik Bestuur, Officier van Justite (badan yang mengawasi masalah cetakan dan penerbitan) pengawasan penerbitan buku dari preventif ke represif. Beberapa buku pencak silat sebagai ilmu bela diri berhasil terbit, diantaranya buku berjudul Selat (A. B. R. M. Tjoek terbitan Uitgeverij & Boekhandel Sadoe Boedi) dan Pentja Soenda (Sadeli Hardjawinata, terbitan Commisie voor de Volkslectuur yang kemudian berubah menjad Bale Poestaka).
Pencak Silat acap dipertontonkan di muka umum pada acara peringatan Ulang Tahun Ratu Belanda dan dipertandingkan pada Jaarbeurs Pasar Malam di kota-kota besar di Jawa, kegiatan ini terus berlangsung hingga masa pendudukan Belanda digantikan oleh Jepang. Pencak Silat ditenggarai juga digunakan sebagai ilmu bela diri polisi dan tentara Belanda dari kalangan pribumi. Seperti Mohammad Toha pengkreasi Pencak Silat Sin Lam Ba adalah seorang Polisi di zaman Belanda.
Ia menjelaskan dalam hal penyebarluasan, pemerintah kolonial Belanda secara tidak langsung turut membantu menyebarluaskan Pencak Silat. Seperti melalui kebijakan pembangunan Jalan Raya Pos (Groete Postweg) Anyer-Panarukan (1909/1910). Aliran Pencak Silat di Jawa Barat yang dibawa para mandor dan buruh turut menyebar ke arah timur Pulau Jawa. Beberapa aliran pencak silat di Jawa Tengah dan Jawa Timur ada yang memiliki kesamaan khas dan karakter dengan aliran pencak silat di Jawa Barat, di Madura terdapat Pencak Sondeh yang berate Pencak Sunda lalu di Nusa Tenggara terdapat Pencak Silat Mang Ujang.
Pembukaan area perkebunan di suatu daerah, pemerintah kolonial banyak mendatangkan tenaga buruh tani yang berasal dari daerah dengan tradisi pencak silat yang kuat, hingga berkembanglah pencak silat di daerah tersebut. Demikian pula dengan politik pembuangan para tokoh-tokoh perlawanan dan para pengikutnya, dari pemberontakan dan perlawanan yang berlangsung pada abad 18 hingga awal abad 20, beberapa aliran Pencak Silat yang dikuasai oleh para tokoh perlawanan dan pengikutnya yang diasingkan turut menyebar di daerah pengasingan.
Tokoh-tokoh perlawanan daerah seperti Tuanku Imam Bonjol dari Minangkabau beserta pengikutnya yang dibuang ke Pineleng, Minahasa, turut membawa aliran pencak silat Minangkabau. Salah satu Dubalang (panglima perang) yang bernama Bagindo Tan Labih selain menurunkan nama marga/fam Baginda juga menyebarkan Silek Tinju Sambuik Sapuluah dan tersebar luas di Minahasa, dikenal sebagai Silat Cakak atau Silat Baginda. Begitu pula dengan tokoh perlawanan Perang Jawa seperti Kyai Maja yang diasingkan ke Tondano, selain menurunkan keturunan Jaton (Jawa Tondano) Kyai Maja dan para pengikutnya turut pula membawa dan menurunkan Silat Kampung Jawa pada sebuah Perguruan Silat Satria Kyai Maja.
ZAMAN JEPANG - Masa pendudukan pemerintahan militer Jepang hanya 3,5 tahun namun kedudukan Pencak Silat sebagai ilmu bela diri mendapat tempat tersendiri. Pencak Silat dianggap penting sebagai sarana membangun kekuatan Djawa Baroe untuk menyokong kekuatan Asia Raya menghadapi sekutu. Pemerintah Militer Jepang (Gunseikan) di Indonesia menyadari bahwa bangsa Indonesia memiliki tradisi ilmu bela diri Pencak Silat yang dapat dimanfaatkan guna semangat Hakko-Ichiu, yaitu menanamkan arti perang di kawasan kemakmuran Asia Timur Raya menuju kejayaan dalam Perang Dunia ke II.
Dalam Propagandanya pemerintah militer Jepang menganjurkan agar Pencak Silat dipelajari oleh segala lapisan masyarakat, dimasukan sebagai bagian dari ilmu bela diri tradisional yang harus dikembangkan dengan cara memformulasikan dengan ilmu bela diri tradisional Jepang di kalangan militer. Maka terjadilah proses militerisasi Pencak Silat dimana setiap prajurit Dai Nippon diwajibkan belajar Pencak Silat, demikian pula sebaliknya pemerintah milter Jepang memberikan pelajaran kyoren (kemilteran) dan jiwa bushido (kode etik jiwa Samurai Jepang), seperti ilmu bela diri kendo, judo, jiujitsu, dsb.
Untuk mempermudah para prajurit mempelajari Pencak Silat maka disusunlah standarisasi gerak jurus Pencak Silat ke dalam 12 jurus baku sebagai sebuah reproduksi, merupakan hasil formulasi para pendekar Pencak Silat dan ilmu bela diri Jepang yang dikumpulkan di Jakarta. Hingga disusun ke dalam sebuah buku oleh pendekar Soegoro dan Saksono dari Suci Hati yang berjudul Pentjak, diterbitkan oleh Gunseikanbu Kokumin Tosyokyoku (Balai Poestaka) pada Agustus 2065 (1945 M).
Menurut Gusman dukungan pemerintah pusat Jepang di Tokyo dalam tukar menukar pengetahuan tentang ilmu bela diri juga melalui pembentukan Kokusai Gakuyu Kai (Perkumpulan Pelajar Internasional), sebuah institusi yang diperuntukan bagi para pelajar yang berasal dari negeri-negeri koloninya. Indonesia mengirim 23 pelajar yang berasal dari 14 kota di Jawa, para pelajar inilah yang boleh dikatakan sebagai orang Indonesia pertama kali yang memperkenalkan Pencak Silat kepada masyarakat Jepang.
Disamping itu pemerintah pusat Jepang mendirikan laboratorium ilmu bela diri yang disebut Majelis Ilmu Berkelahi Lembaga Asia Timur Raya pada 5 Maret 1943 di Markas Besar Perhimpunan Kebaktian Negeri yang berkedudukan di Tokyo. Komite pengurus majelis itu terdiri dari 50 orang guru dan ahli ilmu bela diri Jepang, serta wakil-wakil dari Lembaga Asia Timur Raya. Salah satu program majelis ini adalah mengirimkan para ahli ilmu bela diri ke negeri-negeri di Asia Timur Raya dan mengadakan pertandingan-pertandingan atas anjuran Lembaga Asia Timur Raya di negeri-negeri koloni.
MASA KEMERDEKAAN - Periode ini berlangsung pada tahun-tahun menjelang dan sesudah kemerdekaan, Pencak Silat menjadi salah satu alat perjuangan bangsa. Tidak sedikit para pejuang kemerdekaan yang membekali diri dengan pencak silat dikarenakan minimnya persenjataan modern yang dimiliki. Bung Karno sebagai pemimpin waktu itu memberikan nasihat betapa pentingnya Pencak Silat sebagai alat untuk pembelaan bangsa dan merebut kemerdekaan pada 6 Agustus 1945 di Gambir Barat, Jakarta.
Di sela-sela revolusi fisik merebut kemerdekaan tercetus dari para tokoh Pencak Silat untuk menjadikan Pencak Silat sebagai alat pemersatu bangsa, dengan mengakomodir Pencak Silat yang ada di tiap daerah di Indonesia menjadi satu kesatuan dalam wadah yang bersifat nasional. Gerakan yang bersifat lokal mengusung wacana persatuan ini salah satunya tumbuh di Yogyakarta, pada bulan Maret 1945 dibentuk wadah bagi pencak silat-pencak silat yang ada di Yogyakarta di daerah Wijilan, dipelopori oleh sembilan perguruan dan diberi nama Gabungan Pencak Indonesia Mataram.
Langkah nasonalisasi itu dimulai dari pemufakatan istilah untuk menyebut ilmu bela diri Nusantara ini, yang di tiap daerah memiliki sebutan masing-masing. Maka pada 18 Mei 1948 dikukuhkanlah nama Pencak dan Silat sebagai perwujudan ilmu bela diri nasional dalam wadah IPSI (Ikatan Pencak Seluruh Indonesia). Meskipun demikian nama yang digunakan masih menggunakan hanya kata Pencak yang masih bernuansa Jawa, maka pada tahun 1953 mulai disosialisasikan istilah Pencak-Silat dengan nama Ikatan Pencak-Silat Seluruh Indonesia yang disingkat IPSSI. Hingga pada kongres di Tugu Bogor namanya menjadi Ikatan Pencak Silat Seluruh Indonesia (IPSI).
(mfb/gusman)
dikutip dari resonan.co