Penulis: Edwin Hidayat Abdullah
Penerbit: Gramedia
Jumlah Halaman: xvi + 176
kisah pada suatu Sabtu dini hari, pasca latihan, murid-murid bersantai sambil membicarakan bermacam-macam topik. Entah bagaimana, dengan cepat, topik menyempit menjadi 'apa yang harus dihadapi dalam menghadapi sistem yang korup'. Salah satu dari mereka tidak puas dengan jawaban kawan-kawannya untuk bersabar dan jangan melakukan untuk mencelakakan diri. Ia percaya kezaliman harus dilawan dan tidak boleh dibiarkan. Salah satu senior, tiba-tiba bilang, "Saya punya kawan yang aktivitasnya selalu menjadikan polisi dan jaksa, apalagi preman sebagai musuhnya. Apakah kawan saya mati, celaka dibunuh mereka? Ternyata, kawan saya bisa selamat hingga hari ini. Kenapa? Karena dia tahu 'MADI' dalam bidangnya ini".
Dalam kisah tersebut, sang senior menggunakan kata khas aliran tersebut 'MADI' dalam menyampaikan ide. Biasanya, ketika dijelaskan pada orang luar, 'MADI' adalah membendung lawan, namun murid-murid aliran tersebut paham tidak mudah untuk melakukan 'MADI'. Di tahap awal, melatih MADI melibatkan proses menerima serangan dan sepintas tampak bersifat pasif. Walau tak terlihat, banyak teknik-teknik aliran ini tidak akan jalan tanpa keberadaan MADI. Dengan menggunakan 'MADI', senior tadi mungkin berharap si junior paham bahwa apa yang tampaknya pasif belum tentu pasif dan bisa jadi hal tersebut bagian vital dalam strategi.
Buku Keajaiban Silat adalah obsesi lama Um Edwin untuk menunjukkan bahwa Silat bukan sekedar fisik melainkan juga penuh filsafat di mana para pendiri mewariskan kearifan melalui konsep-konsepnya. Bukan kebetulan bila konsep MADI dalam percakapan tadi juga ada di dalam buku ini karena Um Edwin, sang penulis, juga salah satu murid Cikalong dari jalur Gan Uweh. Selain Cikalong, Um Edwin juga memasukkan beberapa konsep dari aliran-aliran lain seperti Kumango dan Golok Seliwa. Demi menjaga fokus pada 'filsafat'-nya, tak ada teknik-teknik silat di sini. Bahkan di sisi penjualan, di toko buku Gramedia pun, buku ini tidak ditempatkan di bagian Olahraga melainkan di bagian Pengembangan Diri.
Di bagian awal, Um Edwin memperkenalkan sekilas siapa dirinya, jalan hidupnya, termasuk keberhasilan dan kegagalannya. Di bagian selanjutnya, Um Edwin memperkenalkan 17 kaidah silat, rangkuman dari yang dia pelajari dari berbagai aliran. Kemudian ia menceritakan tentang konsep Cikalong, MADI - SABANDAR - KARI dan bagaimana ia menerapkannya di kehidupan sehari-hari. Bagian selanjutnya adalah aplikasi dari semua kaidah yang sudah ia sebutkan di kehidupan, mulai Silat dan Kepemimpinan, Silat dan Manajemen Rezeki, Silat dan Manajemen Ambisi, Silat dan Manajemen Konflik.
Salah satu tantangan dalam memaparkan konsep suatu kelompok kepada publik adalah belum tentu pembaca familiar dengan kata yang digunakan. Itu sebabnya, dalam 17 kaidah, Um Edwin sedapat mungkin menggunakan kata-kata Indonesia yang mudah dipahami. Tak hanya itu, sejumlah contoh pun juga diberikan untuk memperjelas. Misalnya, ia menggunakan contoh menggenggam sabun ketika menjelaskan kaidah keenam belas: Kaidah Genggam, Kaidah Kendali.
Kesimpulan dari buku tipis ini adalah, Silat bukan beladiri yang mengandalkan adu kekuatan tubuh, siapa yang kuat dia yang menang. Silat adalah beladiri strategi, yang besar bukan berarti lebih baik, yang kecil bisa jadi vital. Seperti strategi perang lainnya, strategi atau dalam bahasa Um Edwin, 'kaidah', silat juga bisa diterapkan di kehidupan di luar dunia persilatan. Kalau strategi-strategi Tiongkok seperti strategi Sun Tzu dan 36 Strategi bisa ditulis ulang dan dikemas menjadi strategi bisnis, mengapa strategi silat dalam menghadapi lawan tidak bisa menjadi strategi untuk kehidupan sehari-hari? Toh ada guru-guru silat yang mengamalkannya dan Um Edwin kini menuliskannya untuk umum.
sumber: note fb Narpati Wisjnu Ari Pradana