Tawuran dan Anarkisme, Apakah Pencak Silat Tidak Makin Memperparah? - Juara III


Tawuran dan Anarkisme, Apakah Pencak Silat Tidak Makin Memperparah?
oleh: Khoirul Azis Rifai, 30thn, Bekasi

( Juara III Lomba Penulisan Artikel Silat )

Kita yang hidup di masa sekarang ini rasanya sudah akrab dengan yang namanya kekerasan. Kekerasan di sekitar kita dapat terjadi di berbagai macam lingkungan, mulai dari lingkungan keluarga, lingkungan sosial, hingga yang lumayan menyesakkan lagi adalah tawuran antar wakil rakyat di tengah-tengah sidang. Kekerasan agaknya sudah jamak menjadi pelampiasan yang wajar bagi banyak orang dalam menghadapi kerasnya tekanan hidup atau kuatnya himpitan ekonomi. Dalam keluarga, kekerasan biasanya disebabkan oleh masalah finansial dan perselingkuhan. Kekerasan yang tampil dalam keluarga, khususnya oleh orang tua, akan memberikan dampak psikologis yang buruk pada anak. Gambaran kekerasan tersebut terekam dalam memori anak, lalu di dunia luar, dalam pergaulan, pada situasi tertentu kekerasan itu tanpa disadari akan muncul pada diri anak. Anak, terlebih lagi bila masuk dalam pergaulan-pergaulan yang tidak tepat, akan cenderung menunjukkan perilaku agresif, merusak. Perusakan ini bila dilakukan oleh kelompok, dan lalu saling berbalasan dengan kelompok lain, memunculkan fenomena yang tersebut di atas, yakni : tawuran.

Tawuran adalah perilaku agresif dan anarkis atau cenderung merusak yang dilakukan oleh sekelompok orang yang resiprok (saling berbalasan) dengan kelompok lain. Dalam kamus Bahasa Indonesia, ia diartikan sebagai “perkelahian yang melibatkan banyak orang” (wikiberitaNET). Istilah tawuran biasa kita gunakan, terutama di kota besar, untuk menyebut perkelahian atau tindak kekerasan yang dilakukan oleh sekelompok atau suatu rumpun masyarakat (Wikipedia). Sebab-musabab dalam tawuran tidak perlu hal yang bersifat prinsip dan penting. Biasanya adalah karena “harga diri” yang sebenarnya lebih sering tidak jelas pengertiannya. Kelompok yang terlibat bisa antar pelajar atau antar warga. Ada dua dimensi yang biasanya terkandung dalam peristiwa tawuran. Pertama adalah melibatkan pemuda. Selalu ada pemuda (atau remaja) dalam sebuah peristiwa tawuran. Hal ini dimungkinkan karena mereka belum berpikir panjang dan cenderung reaktif. Yang kedua adalah adanya solidaritas sempit (thio-sunaryo.blogspot.com).

Sebenarnya sudah tak terhitung lagi frekuensi tawuran yang terjadi di seantero tempat di negeri ini. Angka tahun 2011 menyebutkan, terjadi 39 kejadian tawuran antarwarga di kawasan Jakarta dan sekitarnya. Jumlah di DKI Jakarta tahun ini (2011) lebih banyak dari tahun lalu. Menurut Kepala Bidang Humas Polda Metro Jaya Komisaris Besar Baharudin Djafar, tahun lalu Polda Metro Jaya mendata 28 kasus. “Tahun ini, selama delapan bulan saja sudah 39.” (Kompas.com)

 

LALU, APA “PERAN” PENCAK SILAT?

Sesungguhnya tidak ada korelasi sama sekali antara perilaku agresif anarkis yang berujung tawuran dengan keberadaan pencak silat. Pencak silat tidak menyumbang peran apapun pada meningkatnya angka kasus tiap tahun. Sama sekali tidak ada sumber yang menyebut.  Anggapan bahwa belajar pencak silat hanya akan membuat seseorang menjadi doyan berkelahi adalah tidak benar. Beberapa orang tua memang beranggapan begitu, termasuk apa yang penulis alami di masa lalu. Penulis sangat menggemari beladiri sejak kanak-kanak, tetapi tak pernah mendapatkan restu dari orang tua. Orang tua tidak sepenuhnya salah karena begitu maraknya bentrokan antar perguruan silat di tempat tinggal penulis di masa itu. Bukan hanya melibatkan empat atau lima orang, tetapi mencapai dua atau tiga truk yang “nge-drop” di suatu tempat. Penulis yang tidak mendapatkan restu lalu memilih belajar diam-diam kepada teman sekolah.

Belajar beladiri, khususnya pencak silat, sesungguhnya justru memberikan dampak berkebalikan dari pada berperilaku negatif. Perilaku agresif merusak tidak akan muncul dari seseorang yang belajar pencak silat dan memahami secara mendalam apa yang ia pelajari di dalamnya. Drs. Sucipto, M. Kes, dalam tulisannya berjudul “Pendekatan Taksis sebagai Salah Satu Pendekatan dalam Pembelajaran Pencak Silat di Sekolah Menengah Atas”  membagi manfaat belajar pencak silat bagi individu menjadi 3, yakni : fisiologis, motorik, dan edukatif.

Aspek Fisiologis berhubungan dengan pergerakan “serang-bela” yang dinamis dalam pencak silat yang kemudian menciptakan tubuh yang bugar. Aspek Motorik menilik pada kontraksi saraf otak dan otot yang terbiasa bekerja cepat. Gerakan yang serba cepat ini membiasakan praktisi pencak silat untuk terbiasa mengambil keputusan dengan cepat pula, dalam latihan, pertandingan, dan kehidupan nyata. Sementara dari sisi Edukasi, praktisi pencak silat mendapatkan manfaat belajar pencak silat dalam hal kognitif, afektif, maupun psikomotorik. Terkait dengan fenomena tawuran yang penulis sebut di atas, belajar pencak silat justru memberikan pengaruh positif, salah satunya di sisi afektif. “Kemampuan afektif berkembang sejalan dengan diberikan latihan-latihan yang mengarah pada sikap sportifitas, saling henghargai/menghormati sesama teman latih-tanding, disiplin, rendah hati sesuai dengan falsafah pencak silat.” (Sucipto)

Pencak silat memiliki 4 aspek penting yang menjadi ruh atau jiwa dan tercermin dalam senjata trisula pada lambang IPSI. Keempat aspek tersebut kemudian mewujud menjadi 4 tujuan dalam pencak silat dalam pengembangannya. Ketiga ujung trisula melambangkan 3 aspek pencak silat, yakni : seni, beladiri, dan olahraga. Sementara gagang (handle) trisula melambangkan aspek mental-spiritual. Tidak ada sama sekali hal negatif yang diajarkan dalam sebuah perguruan atau aliran pencak silat. Kalau pun ada oknum yang terlibat dalam sebuah perkelahian massal, atau ada bentrok antar- perguruan, pastilah memiliki tinjauan-tinjauan lain yang perlu menjadi dasar analisa. Memang, pada kenyataannya ada juga bentrok antar perguruan silat di suatu wilayah. Tapi penulis tidak sedang membahas tentang itu. Individu yang belajar atau berlatih pencak silat pasti memiliki nilai-nilai atau kaidah yang ia pahami dan anut sebagai semacam kesepakatan atau aturan bersama dalam komunitasnya. Dalam hal ini adalah perguruan atau alirannya. Sumaryanto (2010) dari Universitas Negeri Yogyakarta (UNY) mendapatkan kesimpulan tersebut dari penelitian yang ia lakukan. Ia mengambil sampel pada komunitas UKM (unit kegiatan mahasiswa) Pencak Silat di UNY yang jumlahnya 25 orang. Dengan teknik pengumpulan data observasi, wawancara, dan studi dokumentasi, ia menyimpulkan bahwa mahasiswa yang aktif mengikuti “ekstrakurikuler” Pencak Silat setidaknya memiliki 4 nilai : nilai etis, nilai teknis, nilai estetis, dan nilai atletis (Sumaryanto, “Nilai-nilai Esensial Olahraga dalam Kontribusinya Membentuk Karakter”, UNY, 2010). Nilai etis dalam pencak silat meningkatkan rasa saling menghormati, tanggung jawab, komitmen, disiplin, dan kontrol diri. Nilai teknis membuat mereka menjadi sportif, fairplay, konsentrasi bagus, cara pandang yang membaik, dan cepat mengambil kesimpulan. Nilai estetis membuat pesilat lebih bisa menempatkan diri, teratur dalam ibadah, lebih sopan, dan tidak sombong. Terakhir, menurut Sumaryanto, nilai atletis meningkatkan kebugaran dan kesehatan, mental, dan prestasi.

Dari apa yang didapat Sumaryanto dalam penelitiannya, menurut hemat penulis tidak ada ruang bagi perilaku yang buruk timbul dalam diri seorang pesilat sepanjang dia lurus pada jalur pengamalan nilai-nilai yang terkandung dalam pencak silat. Seorang pesilat boleh-boleh saja bangga dengan perguruan atau aliran yang ia pelajari. Justru harus. Namun, ketika rasa bangga itu kemudian bertransformasi menjadi arogan, maka itu sudah menciderai nilai dalam pencak silat. Setidaknya ia sedang “membuang muka” dari nilai etis yang semestinya ia anut. Arogansi yang berlebihan terhadap kelompok sendiri adalah bibit awal terjadinya chauvinisme golongan, yang bila tidak segera ditangani bisa saja berpotensi menjadi konflik horisontal dengan kelompok lain. Tawuran, pada tahapan paling dini dimulai dari pengendalian diri sendiri. Dan pencak silat memungkinkan seorang pesilat, melalui nilai-nilai yang terkandung, belajar tentang itu.

Penulis sendiri, yang teramat sedikit tahu tentang pencak silat, juga ngangsu manfaat dari apa yang dipelajari dari pencak silat. Penulis bekerja sebagai seorang laborat di salah satu pembangkit listrik di Jawa Barat. Berikut adalah beberapa pengalaman ringan yang sempat penulis alami dan secara langsung maupun tidak dipengaruhi oleh latihan :

1)      Salah satu tanggung jawab kerja penulis di kantor adalah memastikan ketersediaan bahan Kimia sebagai penunjang kelancaran operasi pembangkit. Di saat-saat tertentu penulis terkadang perlu atau hanya sekedar ingin membantu mengisi tangki Kimia, dalam hal ini yang penulis maksud adalah trisodium phosphate yang bentuk fisiknya seperti bubuk berwarna putih. Karena sebab-sebab tertentu bubuk tersebut terkadang menggumpal. Penulis beberapa kali iseng memilih tidak menggunakan alat untuk memecah gumpalan tersebut supaya kembali berbentuk bubuk. “Sekalian latihan pukulan”, pikir penulis. Pekerjaan jadi terasa ringan, bahkan penulis seperti berharap menemukan gumpalan-gumpalan baru untuk dihancurkan.

2)      Terkadang penulis merasakan jenuh ketika sendirian di kantor di luar jam kerja. Apalagi malam hari. Hiburan internet kantor tak lagi menarik saking bosannya. Badan pegal dan tidak bersemangat. Bila mengalami hal seperti itu, penulis biasanya memilih mencari ruangan kosong, warming up sebentar lalu melakukan latihan pernafasan. Setelah kurang lebih satu jam, biasanya badan terasa segar lagi dan berkeringat.

3)      Dua kali dalam seminggu kami ada jadwal rutin futsal. Kawan-kawan praktisi silat yang juga penghobi futsal pasti merasakan bahwa dalam permainan futsal juga ada tekling-tekling lawan yang mungkin kita terima. Nah, pada saat jatuh, reflek tubuh membuat proses jatuh tersebut menjadi tidak berbahaya. Ini sering sekali penulis alami, meskipun sekali-sekali cidera juga. Tetapi dihitung dari jumlah tekling yang diterima selama bermain, berlatih pencak silat benar-benar membawa manfaat.

4)      Di tempat kerja, penulis dipercaya kawan-kawan sekerja menjadi anggota presidium Serikat Pekerja (SP). Latihan yang rutin membuat penulis percaya diri berhadapan dengan siapapun termasuk dalam menyampaikan aspirasi kawan-kawan kepada manajemen. Penulis bisa membawa diri, menjaga kesopanan tanpa kehilangan daya kritis penulis sebagai perwakilan karyawan bila bertemu manajemen.

5)      Pada saat masih menjadi mahasiswa, penulis belajar salah satu beladiri luar. Dalam kaitan dengan olahraga beladiri, penulis mendapatkan manfaat dengan terpilih sebagai perwakilan kampus ke negeri asal beladiri tersebut bersama 4 perwakilan dari 4 kampus lain di Indonesia.

Demikian yang dapat penulis sampaikan dalam kaitannya dengan fenomena kekerasan yang marak terjadi di banyak tempat akhir-akhir ini, dengan apa yang dapat seseorang capai dan  ambil manfaat secara pribadi maupun sosial dari belajar pencak silat. Pencak silat adalah budaya adiluhung bangsa, mari kita rintis jalan menjadi bangsa yang besar dengan mencintai budaya negeri sendiri.

 

 

Khoirul Azis Rifa’i
Staf Senior Laboratorium Kimia PLTU Indramayu 3x330 MW

 



 

Forum Sahabat Silat