(catatan kecil dari Iwan Setiawan)
Anakku yang pertama sering bertanya seperti itu. Kadang jawabanku ya sekenanya, tergantung keadaan hati saat ditanyakan. Mungkin hal yang sama juga sering kali terlintas di benak istri tercintaku yang sama sekali tidak dan bahkan tak mau mengenal pencak silat. Mungkin baginya cukuplah satu orang ”gila” silat di rumah tak perlu ditambah. Terkadang hati ini trenyuh juga, cuma seorang yang belajar silat di rumahku. Ke”gila”an silat sama sekali tak mempengaruhi istri tercintaku untuk mengetahui apa sebenarnya yang digilai suami. Meski sesekali anakku mulai menanyakan apa dan mengapa, namun larangan ibundanya cukup membuat pintu yang kubuka lebar-lebar terasa menjadi jauh.
Oh ya, pencak silat adalah seni bela diri asal Indonesia, mungkin itu adalah kata pembuka yang seringkali kita dengar sebelum mengupas pencak silat. Perkembangannya kini telah telah merambah ke berbagai benua. Di berbagai negara kini banyak yang mempelajarinya baik secara langsung dengan perwakilan perguruan yang memang telah mengembangkannya hingga ke manca negera atau dengan pelatih yang resmi atas nama perguruan atau sebagai wakil negeri ini juga pada orang secara pribadi yang telah belajar. Pengembangan dan perkembangan pencak silat ke berbagai negara adalah buah hasil dari para guru, pendekar maupun pelatih terdahulu. Suatu prestasi yang luar biasa jika dilihat dari rentang waktu yang tidak terlampau lama.
Secara organisasi, perguruan dan aliran pencak silat Indonesia membuahkan organisasi induk sekitar tahun 1940-an tepatnya tanggal 18 Mei 1948 di Surakarta dengan nama Ikatan Pencak Silat Seluruh Indonesia disingkat IPSI dan pada Munas pertama diubah menjadi Ikatan Pencak Silat Indonesia dengan singkatan yang sama. Dan pada tanggal 11 Maret 1980 didirikan PERSILAT atas prakarsa IPSI yang merupakan induk organisasi pencak silat sedunia dengan beberapa perwakilan, dari PERSISI (Persekutuan Silat Singapura) dan Kementerian Kebudayaan, Belia dan Sukan Malaysia yang saat itu belum berdiri PESAKA. Dan baru pada tahun 1985 di Sidang Umum I PERSILAT di Malaysia setelah PESAKA berdiri kementerian tersebut mengalihkan keanggotaannya. Dan pada tahun 1988 di Sidang Umun II di Singapura, Persekutuan Silat Kebangsaan Brunei Darussalam resmi menjadi anggota pendiri. Sejak keempat induk organisasi negara Indonesia (IPSI), Singapura (PERSISI), Malaysia (PESAKA) dan Brunei Darussalam (PERSIB) bergabung saat itu pula pencak silat memiliki induk organisasi internasional dengan Presiden PERSILAT-nya bapak Eddie M. Nalapraya. Perjalanan ini merupakan buah prestasi yang luar biasa bagi pengembangan pencak silat hingga tataran internasional.
Namun apa yang kini terjadi di negeri ini? Pencak silat bagaikan tuan rumah yang tidak diakui keberadaannya. Hingga dalam beberapa diskusi sering saya katakan bahwa adalah salah menyebutkan ”jadikan pencak silat tuan rumah di negeri ini” karena secara de facto ataupun de jure pencak silat adalah bela diri tradisonal bangsa Indonesia yang memang tuan rumah. Kenapa kita selalu meneriakkan hal yang sebenarnya telah menjadi hak milik kita? Kenapa kita tidak bersikap dan berperilaku sebagai layaknya tuan rumah sesungguhnya dan bukan sebagai tamu dirumah sendiri? Keadaan lesunya pengembangan dan perkembangan pencak silat yang bagaikan episode yang seakan berganti dan berakhir anti klimaks. Perdebatan yang sering muncul dan dimunculkan adalah kenapa pencak silat tidak berkembang sepesat bela diri lain yang kini digandrungi generasi muda bahkan kalangan eksekutif sekalipun. Dan pembahasan jalan keluarnya adalah selalu berkutat tak jauh dari organisasi dan manajemen modern atau kemasan yang harus dibuat cantik dan menarik agar minat mempelajarinya bertambah. Atau banyaknya keluhan dan ungkapan miris tentang pencak silat yang seolah tertidur dalam hiruk pikuk perkembangan seni bela diri tanah air. Kadang kepala ini berpikir (meski sebenarnya malas untuk berpikir) betulkah solusi tersebut memberikan jawaban akan kemajuan pencak silat?
Ketika kita lihat perjalanan pencak silat hingga tingkat dunia, ini adalah sebuah hasil karya yang patut diacungi jempol begitu juga dengan dibentuknya induk organisasi di tanah air tahun 1940-an, itupun suatu prestasi dan terobosan yang sangat fantastis dan luar biasa. Ketika pencak silat bersinggungan dengan sentuhan moderen hingga menjadikan perguruan / paguron menjadi organisasi dan memiliki bentuk pengelolaan / manajeman moderen, namun apakah itu cukup untuk menjadikan pencak silat langgeng dan lestari?
Pada saat yang berlainan seringkali keluhan yang tampak adalah pencak silat kurang memiliki kemasan yang menarik. Mungkin ada benarnya juga...karena dalam beberapa kali saya mempelajari pencak silat, hal yang pertama datang adalah pandangan pertama saat menyaksikan atraksi atau demontrasi pencak silat. Betapa saya dulu ingin sekali mematahkan tumpukan balok es, beton maupun batangan besi malah terkadang belajar silat adalah karena ingin dengan mudah melemparkan lawan tanpa menyentuh alias memukul jarak jauh dengan tenaga dalam....wah, suatu hal yang menakjubkan jika semua itu dapat dilakukan, mematahkan batang pompa hanya dengan selembar gulungan koran. Atau tak mempan dan kebal senjata tajam bahkan keinginan bisa ”melihat” dalam kegelapan atau dengan mata ditutup sekalipun. Ini merupakan hal yang lumrah, menapikan segala bentuk tampilan tentunya akan sedikit yang berkeinginan datang mempelajari pencak silat. Namun sekali lagi yang menjadi pertanyaan apakah penampilan kemasan pencak silat juga akan membuat pencak silat akan semakin membuatnya langgeng dan lestari? Kedua solusi yang kerap menjadi bahan perbincangan ini juga menjadi bahan pikir bagi kita yang berkeinginan terus agar pencak silat maju berkembang sesuai harapan.
Mengkaji kembali usulan yang kerap kita lontarkan untuk kemajuan pencak silat adalah hal yang patut kita pertimbangkan, jangan sampai kebosanan kita terhadap persoalan yang sama kembali terjadi hanya karena penanganan permasalahan tak pernah menyentuh akar permasalahan yang sebenarnya. Dalam satu seminar pencak silat di UI, seorang pembicara yang merupakan pendekar senior memberikan jawaban yang harusnya menjadi bahan renungan bagi penanya yang mewakili generasi muda (juga kita) ketika ditanya, mengapa pencak silat kurang berkembang? Dan dengan diplomatis pendekar inipun menjawab,”Seharusnya hal-hal ini tak perlu lagi ditanyakan sekarang, karena sejak dulupun pertanyaan semacam ini sudah ada...” Miris sekali mendengarkan jawaban seperti itu setelah besar pengorbanan dan apa yang mereka lakukan terhadap pencak silat, pertanyaan ini seharusnya sudah tidak lagi menjadi pertanyaan padanya. Namun juga merupakan suatu kemunduran berpikir jika tetap kita hanya mempermasalahkan segala kekurangan tanggap dan penanganan yang dilakukan induk organisasi pencak silat negeri ini terhadap kronisnya penelitian, pengembangan, informasi dan segala tetek bengek yang seharusnya menjadi urusannya. Ketika semua usaha dan pikiran yang telah tertuang dalam bentuk karya nyata, hendaknya kita juga arif menghargainya jangan sampai kita hanya mempermasalahkan hal-hal sepele, seperti pertandingan pencak silat kini tiada beda dengan bela diri lain, kaidahnya tak terlihat, seni pencak silatnya lebih menonjolkan seni ketimbang pencak silat itu sendiri dan berbagai alasan yang sebenarnya gampang di jawab.
Kembali pada permasalah solusi yang sering kita ajukan mengenai memodernkan ”paguron”, manajemen dan kemasan. Menurut pengamatan saya (meski kadang mengamati kadang tidak) kedua hal ini telah dilakukan sejak pendahulu pencak silat duduk bersama membuat induk organisasi. Terobosan ini telah dilakukan dan bukan merupakan hal baru. Jadi ketika kita mengajukan dua solusi (menurut kita ..) sebenarnya tak lain dan tak bukan kita hanya mengulang usulan para perintis terdahulu. Ketika kita telah memiliki induk organisasi bukankah itu merupakan suatu buah pemikiran dan karya yang moderen? Ketika kita menampilkan pencak silat lewat duta-dutanya ke luar negeri, bukankah itu juga suatu kemasan yang ciamik dan cantik yang tentunya sangat menarik. Lalu apakah kita akan membungkus kembali kemasan pencak silat dengan kemasan lagi??? Jika itu yang terjadi, maka sebenarnya kita tidak mengerti apa yang kita ”jual”, kita hanya akan menjadi penjual kemasan dari pencak silat yang telah dikemas. Ibarat menjual kantong ”kresek” pembungkus untuk buah yang terbungkus rapi.
Seorang kawan menginspirasikan saya, kenapa kita tidak berpikir dengan kearifan purbakala? (meski dalam beberapa hal saya menentang namun dalam hal ini ada benarnya juga). Ketika kita berbicara kemajuan dan pengembangan pencak silat, kenapa kita tidak berpikir juga sebagaimana leluhur pendiri dan para penerus atau pewaris melanggengkan keilmuannya hingga pada kita? Bukankah dari mereka ke kita merupakan rentang watu yang sangat etramat panjang dan patut menjadi renungan ? Kenapa kita tidak berpikir seperti halnya mereka mengamanahkan pada generasi berikutnya? Atau berpikir bahwa pencak silat adalah ”permata” yang harus dijualnya, bukan bungkus permata tersebut. Karena biar bagaimanapun ketika menjual bungkus (permata) sekalipun akan jauh lebih murah ketimbang permatanya, dan yang dapat bungkuspun akan berbeda memegangnya dengan mendapatkan permatanya. Mungkin pikiran saya terlampau cetek alias dangkal, tapi bagi saya kedangkalan air sekalipun dapat melihat langit melalui bayangannya. Ketika kita berpikir organisasi modern, para guru dan pendekar tempo dulu bahwa mengembangkan pencak silat adalah melalui jalur keluarga dan kerabat, andaikan ke luar keluarga maka ada sumpah dan janji yang mengikat dan mutlak harus ditaati. Juga seleksi berdasarkan perilaku atau ahlak, tidak diterimanya murid karena tidak memiliki sifat dan tabiat yang baik adalah hal biasa terjadi, serta mengamanahkan tampuk keilmuan berdasarkan kriteria yang pantas dan patut. Ketika seorang murid sekalipun hebat namun tidak dapat mentranfer keilmuannnya maka guru akan melarangnya mengajar dan ini dipatuhi. Sehingga sering kita dengar pendekar yang tidak mau memiliki murid karena hal tersebut. Ini juga mengartikan bahwa seseorang dituntut mengerti akan posisi dirinya.. Pemikiran sederhana ini sebenarnya adalah salah satu prasyarat utama dalam organisasi modern, bahwa kepercayaan akan pribadi perorangan, kemampuan, sikap dan sifat baik adalah dasar langgeng atau tidaknya sebuah keilmuan pencak silat (kini ”organisasi” pencak silat / perguruan) yang akan turunkan dan pengawasan melekat. Ini semua telah ada sejak pencak silat itu ada, kenapa kita tidak menelaahnya?.
Ketika berbicara kemasanpun, seharusnya kita tidak melupakan pencak silatnya. Karena begitu kita mengemas dan orang tertarik pada kemasan, akan celaka sekali kita karena ternyata kita hanya mampu menjual pada tahap kemasan semata. Saat seseorang telah bisa mematahkan es balok bertumpuk, mematahkan beton atau besi batangan, bisa melemparkan lawan denag tenaga dalam, bisa melihat dalam kegelapan dengan mata tertutup bahkan kebal senjata sekalipun, setelah itu apa?? Selesaikah pencak silat sampai di situ?? Tentu saja tidak, kan? Namun kenyataan yang terjadi adalah setelah hal itu didapat, satu persatu yang belajar berhenti dan tak muncul lagi. Hingga pencak silat yang katanya long life education hanya berhenti pada tataran ”bisa”. Kenapa kita juga tidak berpikir sebagaimana orang dahulu? Di mana belajar pencak silat selalu diiringi belajar agama, dan menekankan mempelajarinya adalah salah satu cara menjadikan kita manusia yang berpribadian atau berakhlak baik. Keilmuan pencak silat bukanlah oleh-oleh yang mudah didapat tanpa susah payah, dan kematangan emosi dan jiwa menjadi pertaruhan untuk mendapatkan meteri lanjutannya. Sehingga keilmuan yang dimiliki memberi warna dalam keseharian kehidupan seseorang. Dan sangat berbeda dengan sekarang, dimana ujian kenaikan tingkat kadang bukan lagi merupakan titian kematangan baik emosi maupun jiwa seorang pesilat mencapai tahapan lanjut. Kenapa kita menggabungkan pemikiran lampau dengan sekarang?
Kenapa setelah berkembang hingga ke manca negara dengan terobosan lalu, kita tidak melakukan terobosan mengembalikan konteks berpikir pencak silat sebagai sebuah budaya bukan sebagai barang, dan berpikirlah sebagaimana seorang pesilat berpikir. Hingga pada saatnya nanti saya, anda dan siapaun yang menjadi pesilat akan mantap menjawab pertanyaan tiap orang, mengapa kita memilih pencak silat? Dan kita akan menjawab, ”pencak silat mengajarkan dan menjadikan kita manusia yang baik dengan pemikiran tradisional yang baik di alam moderen....” anak-anakku pasti bangga abahnya pesilat sedangkan istriku paling tertawa, atau ya minimal tersenyum.....aahhhh, ada-ada saja...
Iwan Setiawan
Pesilat
Thank to mas Bram, pak Monu, dan sahabat silat semua