tulisan : Iwan Setiawan
Hari ini tepat tanggal 17 Agustus 2009, hari sakral yang merupakan momen bersejarah bagi bangsa Indonesia yang genap berumur 64 tahun. Tidak biasanya di tempatku tinggal siang hari yang biasanya terik panas dan menyengat, hari ini turun hujan. Tidak terlalu deras memang, bagaikan sedikit isak tangis anak yang hanya cukup membasahi mata dan pipinya. Imajinasi liarku kadang membuat rasionalitas akal ini menertawakan diri sendiri, apakah ibu pertiwi sedang bersedu sedan? Atau ibu pertiwi kami terisak melihat perilaku nakal anak bangsanya? Ah, pikiran bodoh macam apa ini, akal ini akhirnya mampu mematahkan kekonyolan ruang imajinasi yang terlanjur sering menggayuti alam pikiran ini.
Hari ini kita peringati kemerdekaan bangsa kita, meski para pendiri dan para pahlawan tak pernah menjanjikan apapun dalam perjuangannya tapi sedikitnya tersirat bahwa mereka meninggalkan amanat yang cukup berat dan dalam. Mereka hanya ”berani” mengantarkan rakyat Indonesia ini sampai di depan pintu gerbang kemerdekaannya, sehingga merdeka bagi sebahagian anak bangsa ini belum terasa bahkan ada yang tidak merasakannya sama sekali. Lalu salahkan para pahlawan dan para pendiri negeri ini? Bagiku sama sekali tidak, kemerdekaan bukanlah hal yang harus diberikan dan dihadiahkan sekalipun oleh para pahlawan dan pendiri negeri ini, kata itu menurutku yang awam ini merdeka mengandung artian bagian dasar pencapaian awal dari segala upaya optimal personal / pribadi yang tetap akan terasa dan dirasa oleh pribadi itu sendiri. Jadi jika ada yang belum merasa merdeka ya itu adalah haknya mengatakan, karena merasa dan dirasa bahwa upayanya tidak sebanding dengan yang dibayang. Jadi alangkah baiknya dalam hari yang bersejarah ini jika ada ang masih belum merasa merdeka, maka merdekakanlah diri anda dengan segala upaya hingga batas kemampuan yang dimiliki. Karena jika upaya telah dilakukan maka hasil adalah bagian yang tinggal kita tunggu...
Jika berbicara kemerdekaan maka tak luput kita juga berbicara tentang pahlawan dan segala tindakannya. Kadang aku sering bertanya, setelah 64 tahun merdeka lalu siapakah pahlawan kita nantinya? Satu persatu saksi sejarah dan para pelaku sejarah telah meninggalkan kita untuk selamanya, apakah setelah 10-20 tahun lagi saat kita memperingati kemerdekaan bangsa ini nantinya kita hanya akan memandangi foto dan lukisan mereka yang telah tiada yang ”hanya” menjadi pahlawan? Setelah kita merdeka ini siapa pahlawan kita selanjutnya? Semenjak kecil kita dininabobokan dengan pengertian pahlawan itu sendiri Sebenarnya ada banyak pahlawan di sekeliling kita, mereka tersembunyi dibalik balutan nama yang menyamarkannya dan ketidakberdayaan kita menempatkannya dalam posisi yang luhur dan terhormat. Ketika kita acuh dengan kebersihan lingkungan dan seenaknya membuang sampah ke setiap sudut bagian kota, maka kita mengabaikan suatu nilai luhur yang telah dijunjung tinggi agama dan telah diakui oleh negeri maju yang sekaligus menjadikan diri kita penjajah yang juga menempatkan ”pahlawan” yang memelihara kebersihan tersebut jatuh ke lubuk jurang dengan sebutan merendahkan : tukang sampah !
Guru,
sejak kita sekolah dasar dulu kita kenal sebagai pahlawan tanpa tanda jasa, dan itu juga menjadi simbol identitas guru itu sendiri. Terlebih kita juga diajarkan nyanyian / hymne tentang guru yang merupakan pahlawan tanpa tanda jasa sehingga jika kini kita ditanya oleh anak-anak kita siapa pahlawan tanpa tanda jasa, maka tanpa perasaan berdosa kita bilang,”Guru...!!!”.sungguh suatu ironi yang hingga kita menjadi bahan pemikiran . Belum lagi pahlawan lainya, seperti petani yang hingga kita tahu meski negeri ini sebenarnya negara ini adalah agraris tapi ’pahlawan’ kita merana disudut jari tangan para pengijon dan lintah darat serta bandar pengepul.
Belum lagi yang dekat dengan kita yakni orang tua. Gelar pahlawan tak menyentuhnya, padahal merekalah yang memberi kasih sayang kehidupan pada kita dan pahlawan kehidupan kita.
Lalu bagaimana dengan pencak silat?
Ketika saya dan kawan-kawan pencak silat dalam sebuah acara peringatan 3 tahun Forum Pecinta dan Pelestari Silat Tradsional Indonesia 15 Agustus 2009 di Padepokan Nasional Pencak Silat Indonesia dan pertemuan para tokoh maenpo Cianjur tanggal 16 Agustus 2009 di Cianjur lalu, membicarakan tentang bagaimana pencak silat ke depan. Secara pribadi saya sangat terkesima ketika salah satu pembicara dalam obrolan santainya menceritakan bagaimana pencak silat merambah ke berbagai negara, dan banyak diantaranya menjadi rancu dan diterjemahkan dengan pemikiran personal pembawa yang notabenenya bukanlah anak negeri ini, maka dengan mantap sang pembicara menjelaskan dan meminta bahwa alangkah baiknya para sesepuh, pendekar dan pelatih pencak silat melatih orang asing denga segala kesungguhan dan tidak setengah-setengah sehingga pencak silat itu tidak akan menjadi rancu di tangan mereka.
Awalnya saya merasakan itu sebuah solusi yang cukup baik namun setelah pengkajian lebih mendasar, sungguh ini adalah suatu hal yang sama sekali tidak menghargai suatu nilai tradisi yang lama dianut. Mengapa? Mengajarkan itu adalah hak perogatif dari guru aliran dan perguruan sehingga menyesaki dengan ide harus diberikan semua adalah intimidasi yang sistematis yang menghilangkan pencak silat dari unsur pilihan hidup dan pengabdian pada tatanan nilai. Jika kita membalik logika berpikirnya, memberikan setengah-setengah saja tidak menjadi benar dan ngawur, apakah ada jaminan jika memberikan dengan penuh tidak akan menjadi jauh lebih ngawur?
Pencak silat adalah merupakan tradisi budaya lokal bangsa ini yang berdasar pada pemahaman budaya setempat, adalah baik memberi setengah dengan harapan menjaga nilai yang hanya setengahnya adalah merupakan suatu hal yang tidak berat seperti menjaga yang sepenuhnya, namun menjadi tanda tanya besar jika yang setengah kita berikan dan titipkan menjadi kacau dan rancu bagaimana jika memberikannya yang penuh? Menjadi pertanyaan menarik jika kita menengok ke belakang, bagaimana seorang guru pencak silat kukuh dan kokoh menjaga nilai-nilainya tatanan tradisi (meski kini kita banyak kehilangan mereka) yang masih tersisa padanya dan menjaga dengan baik selama berpuluh-puluh tahun, lalu dengan harapan ”keutuhan” pencak silat diajarkan sepenuhnya keluar dengan waktu yang singkat, apakah kita tega ”permata” yang dijaga dengan cucuran keringat dan perputaran waktu yang sangat lama ini diboyong bagaikan sebuah souvenir di kedai-kedai tanpa mempertimbangkan sebuah nilai juang yang telah dilakukannya?
Mereka Juga Pahlawan !!!
Beberapa guru yang pernah kutemui baik yang telah berumur lanjut hingga yang masih muda belia semuanya ketika ditanya memiliki sebuah pernyataan yang mengungkapkan mempelajari pencak silat adalah pencapaian hasil sulit yang membanggakan dari upaya juga usaha dan berpikir yang memakan waktu tidaklah sebentar. Buah ketekunan mereka itu yang bisa kita lihat dan nikmati. Hingga kita kini dapat tetap melihat apa itu Cimande, Cikalong, Gulung, Beksi, Sera, Pamacan, Paseban, Cingkrik, Gerak Rasa, Cikaret, Kumango, Silek Tuo, Silek Harimau, Lintau, Sitaralak, dan silat lainnya. Begitu nikmat dan mudahnya kita melihat kadang membuat kita lupa, bagaimana sulitnya menjaga kesemuanya itu dalam kurun waktu yang cukup lama.
Sungguh merupakan suatu yang tidak elok dan pantas jika kita meminta namun hendak memiliki kesemuanya dari apa yang telah dipelajari para pendekar, penerus dan pewaris aliran ataupun perguruan pencak silat tanpa mempertimbangkan betapa beratnya mereka mempertahankan dan menjaga amanat dari nilai luhur tradisi yang sebenarnya sama sekali kita abaikan dalam proses pencapaian hasil yang telah mereka miliki. Merupakan suatu kewajiban moral bagi kita mengembalikan dan membalikkan logika berpikir kita dalam hal ini. Jika kita menghendaki keutuhan baik dari tatanan gerak, pemaknaan tata gerak, kaidah hingga falsafah pencak silat itu sendiri terjaga utuh di luar sana maka yang harus dilakukan adalah bukan dengan meminta para pendekar, guru, pelatih dan pewaris atau penerus aliran memberikan segala yang dipunyai dengan waktu yang jauh lebih singkat. Namun mengembalikannya pada dasar berpikir setiap pribadi calon pesilat baik dalam maupun luar negeri bahwa mempelajari pencak silat adalah suatu pelajaran yang tidak hanya ilmu bak bik buk (berkelahi dan bela diri) semata, tapi merupakan suatu tatanan yang komplek meliputi berbagai macam aspek hingga penggunaan pemikiran kitapun harus mengikuti alur bepikir orang atau masyarakat setempat di mana aliran tersebut berasal dan tumbuh. Jika kita tetap menggunakan pikiran kita sebagai etnis lain sementara apa yang kita pelajari adalah kekayaan budaya etnis tertentu, maka yang didapat bukanlah apa yang menjadi tolak ukur bagi keinginan atau pencapaian etns tersebut. Ketika kita mempelajari aliran silat / maen pukulan Betawi namun kita selalu ”mempertentangkan” logika berpikir kita sebagai orang Sunda (misalkan) maka keutuhan silat yang dipelajarinya tidaklah tercapai. Lalu bagaimana jika hal ini terjadi pada anak negeri lain? Bagaimana jika seorang Eropa tetap menggunakan pola pikirnya dalam mempelajari pencak silat namun mengesampingkan pola pikir orang Betawi? Maka akan kita alami apa yang disebut penerjemahan pola pikir budaya dengan sudut pandang pribadi, dan yang akan banyak terjadi adalah ”semau gue” dan ”seenaknya gue berimprovisasi” dalam menerjemahkan produk budaya loka yang sebenarnya belum dipahami dan malah tidak dipahami. Maka alangkah lebih baiknya untuk menjaga keutuhan pencak silat itu sendiri adalah menanamkan pengertian bahwa mempejarinya adalah merupakan keharusan penyelarasan berpola pikir sebagaimana muasal aliran itu ada dan berkembang. Sementara untuk masalah memberikan keilmuan itu kita kembalikan kepada sang guru yang (harus juga kita hargai sebagai pemegang kuasa penuh) memberinya, terserah seberapa banyaknya.....
Keberhati-hatian guru pencak silat yang kadang hanya memberikan sebahagian dari ilmu yang dimiliki hendaknya kita pandang arif sebagai ujian amanat yang harus dijalani sang murid. Hingga apabila dengan sedikit yang dimilikinya sanggup dijaga utuh dan dipertahankan bukanlah suatu hal yang mustahil jika nantinya keseluruhan apa yang dimiliki sang guru akan diberikan dengan hati ikhlas dan lapang.
Begitu lama para pendekar, guru, penerus dan pewaris aliran berbagai macam pencak silat mempertahankan dan menjaga keilmuan yang dimiliki (ini belum menghitung pengeluaran meteri mereka lho!!!), hingga bukanlah suatu yang mustahil jika saja mereka tidak mempelajari dahulu maka apa yang kita sebut sekarang sebagai aliran pencak silat sudah tinggal kenangan dan hanya tinggal cerita yang mungkin akan kita dengarkan dalam obrolan pengisi waktu luang. Dapatkah kita mengukur pengabdian mereka dengan materi? Tentu saja tidak. Apakah kita akan tetap dapat mendengar, melihat atau bahkan mempelari jika para pendekar, guru, penerus dan pewaris ini tidak mau mempertahankan dan menjaganya? Atau paling tidak mereka tak mau memberikannya. Alangkah merananya kita jika satu persatu khazanah budaya yang adiluhung ini hilang. Dan menjadi suatu hal yang menyedihkan jika bangsa kita yang dikenal sebagai bangsa yang berbudaya ini kehilangan produk budayanya sendiri karena keengganan kita menghargai usaha yang telah dilakukannya. Ataukah kita tega ia mati di tangan kita sendiri karena ”memaksanya” tumbuh lebih mekar.
Maka bukanlah suatu hal yang mustahil jika gelar pahlawan disematkan pada dada mereka yang dengan susah menjaga, mempertahankan bahkan mengembangkan pencak silat dengan waktu yang tidak sebentar. Dan negeri inilah yang sebenarnya berhutang budi pada merekan. Maka adalah pantas jika sebutan Pahlawan Penjaga Tradisi dan Budaya Leluhur diberikan padanya.
Salam takzimku untuk semua pendekar, guru, penerus dan pewaris berbagai aliran pencak silat yang tetap membuat pencak silat lestari di muka bumi.
Iwan Setiawan
(tulisan ini sekaligus membantah sebuah pemikiran ”kakakku” O’ong Maryono dalam dua pertemuan di atas)