Febriyani Nurkhasanah



Febriyani Nurkhasanah - Gadis Pembelot dari Batu Jajar

Ia tidak merasa masa mudanya terampas karena menekuni pencak silat.

Buk! Kaki jagoan silat itu melayang cepat. Sambil menahan nyeri, lawannya menghindar. Entah kenapa tayangan adu jotos di layar kaca itu tak membuat gadis kecil tersebut ngeri. Ia malah semakin terkesima oleh adu tendangan tersebut. Itulah tendangan yang mengubah sejarah Febriyani Nurkhasanah, gadis kecil tersebut. Sejak menonton tayangan laga pencak silat dalam SEA Games 1993, Febri--panggilan Febriyani--kecil bersumpah ingin menjadi atlet pencak silat. Ia melupakan cita-cita menjadi dokter atau polisi--cita-cita yang biasa hinggap di otak anak kecil.

Sejarah pun berpihak kepadanya. Empat belas tahun kemudian, yakni sekarang ini, Febri telah melambung menjadi atlet pencak silat untuk SEA Games 2007 di Thailand. Ia kini mengikuti pemusatan latihan nasional pencak silat untuk SEA Games 2007 di Pusat Pendidikan Komando Pasukan Khusus (Kopassus) Tentara Nasional Indonesia Angkatan Darat di Batu Jajar, Cimahi, Jawa Barat

Saat ditemui Tempo, Kamis lalu, di pemusatan latihan itu, Febri bercerita ia adalah gadis pembelot. Sambil membanggakan seragam seragam loreng hijau Kopassus yang ia kenakan, Febri menuturkan bahwa ayahnya, Kartidja, adalah karateka yang sering tampil di aneka kejuaraan yang ditayangkan di televisi.

Ayahnya mewajibkan Febri berlatih karate. Awalnya gadis kecil itu menurut. Namun, ia hanya bertahan dua kali latihan. Belakangan, gadis itu malas belajar karate. Alasannya, ia benci dipaksa oleh pelatihnya melakukan split (merentangkan dua kaki sampai lurus sejajar dengan lantai). Aku nggak tahan dipaksa-paksa untuk bisa split. Padahal di silat pun nantinya ada ada keharusan bahwa aku harus mampu melakukan split, ujarnya sembari tertawa.

Akhirnya, dengan sedikit adu argumentasi dengan ayahnya, Febri kembali berlatih silat. Kebetulan di sekolah ada Perguruan Silat Padjadjaran Nasional. Akhirnya, setelah naik ke kelas III sekolah dasar, Febri bergabung dan mulai berlatih dengan serius.

Kejuaraan pada 1995 mengubah hidupnya. Febri saat itu mengikuti kejuaraan untuk pertama kalinya di Kejuaraan Nasional Perguruan Padjadjaran di Bogor. Ia turun di kelas C junior (42-45 kilogram) dan pulang membawa medali perunggu.

Setelah kejuaraan itu, Febri makin rajin mencebur dalam berbagai kejuaraan. Hasilnya? Ia tidak hanya mendapatkan medali, tapi juga deretan luka. Yang penting adalah mendapat pengalaman, kata gadis ulet itu.

Jam terbang Febri yang makin tinggi mengantarnya ke pertandingan yang lebih besar, yaitu Pekan Olahraga Daerah Jawa Barat pada 1998 sebagai wakil Kota Cirebon.

Dalam kejuaraan itu, Febri berhasil merebut emas dan berhak berlaga di tingkat nasional. Sejak itulah Febri mulai mendulang banyak medali.

Koleksi medali yang diraih Febri ternyata tidak otomatis membuatnya mendapat dukungan orang tuanya. Ibu Febri, Siti Maemunah, berkeras memintanya hanya berkonsentrasi pada sekolah. Gadis penyuka matematika itu menolak. Ia menunjukkan bukti bahwa silat tak menyurutkan prestasi akademiknya. Febri pun berhasil masuk ke perguruan tinggi negeri di Bandung melalui jalur atlet. Pilihannya pun tidak tanggung-tanggung: jurusan matematika. Orang tuaku tidak menyangka aku bisa lulus ujian, kata Febri.

Pada 2002, Febri mengikuti kejuaraan nasional tingkat dewasa untuk pertama kali dan sekali lagi berhasil meraih emas. Sejak saat itu, jam latihannya terus bertambah sehingga waktu senggangnya semakin berkurang. Namun, sesuai dengan janjinya kepada orang tua, anak tertua dari tiga bersaudara ini menempatkan pendidikan sebagai prioritas.

Jadi, ya, pulang latihan, istirahat sebentar, lalu belajar. Hampir tidak ada waktu untuk kumpul-kumpul dengan teman, ujar Febri. Kendati begitu, ia tidak merasa masa mudanya terampas. Ini bukan sekadar impian, ini hidupku, gadis berjilbab ini menegaskan.

Pertandingan, buat Febri, selalu memberi kenangan sendiri. Ia memberi contoh ihwal kekalahannya melawan Haryanti, atlet silat dari Sumatera Selatan. Haryanti tiga kali mengalahkan Febri, bahkan dua kali dalam event yang sama.

Tiga kali kalah oleh dia, aku sempat berpikir, 'Apakah aku akan buat rekor jadi empat kali kalah?' Tapi ternyata aku bermain dengan tenang dan lepas. Akhirnya 5-0 buatku, ujarnya berbinar-binar.

Di dunia internasional pun Febri mulai mendapatkan perhatian khusus. Pada pertandingan internasionalnya yang pertama di United Kingdom Open 2006, Febri mendapat emas. Selanjutnya, ia mendapat perak di University Games di Hanoi, Vietnam, pada tahun yang sama. Terakhir ia sukses dalam Belgia Terbuka 2007 dengan merebut emas di kelas C putri sekaligus menjadi pesilat terbaik.

Namun, ia masih belum puas. Targetnya adalah emas di SEA Games Thailand dan Pekan Olahraga Nasional XVIII bagi Jawa Barat. Ia telah bersumpah menempa dirinya sekeras mungkin.

Saat ini Febri sedang digembleng di Pusat Kopassus di Batu Jajar. Ia menilai latihan yang banyak melibatkan anggota Kopassus itu sangat menyenangkan karena tidak sekadar menempa fisik dan teknik, tapi juga mental. Aku tidak akan melupakan pelatnas ini karena ini adalah pelatnas pertamaku dan ternyata sangat menyenangkan, katanya.

Meskipun jauh dari orang tua, Febri mengaku tidak pernah tertinggal berita apa pun karena setiap hari ia pasti menelepon sang mama. Bahkan, ketika masih di Jakarta, kalau memungkinkan ia menyempatkan pulang ke Cirebon. Tapi yang tidak pernah lepas dari pelukannya adalah boneka harimau kecil yang diberi nama Maung.

Maung itu keberuntunganku. Aku tidak pernah pergi ke mana pun tanpa Maung. Rasanya ada yang hilang deh kalau Maung tidak ada di tempat tidurku, katanya.

Oleh : MUSLIMA HAPSARI
Koran Tempo Minggu, 30 September 2007


Related Tags :