Khasanah persilatan Indonesia sudah tidak asing lagi dengan kata Cimande. Sebuah aliran pencak silat yang tergolong besar, terkenal dan memiliki pengaruh besar pada aliran lainnya di Jawa, Indonesia hingga luar negeri. Bagi khalayak umum di JABODETABEK, Cimande lebih dikenal sebagai ahli patah tulang yaitu memperbaiki tulang yang patah dengan cara tradisional. Begitulah cimande yang dikenal umumnya.
Untuk lebh mengenal lebih dekat apa itu Cimande, sabagai aliran Pencak Silat, Forum Pecinta dan Peletari Silat Tradisional (FP2ST) mengadakan kunjungan ke jantung Cimande yaitu desa Tarikolot.
Talang Dua
Dengan menggunakan dua mobil yang ditumpangi 10 orang, kami berangkat dari Jakarta ke arah Bogor/Ciawi. Hanya satu jam di jalan tol, kemudian keluar dan berbelok ke arah jalan raya sukabumi. Tidak berapa lama, kita akan menemui talang satu yaitu talang air yang melintang dan berada di atas jalan raya. Konon talang ini sudah ada sejak jaman Belanda dan merupakan sarana pengairan baik untuk sawah maupun kebutuhan lainnya dari penduduk setempat.
Agak jauh dari talang satu, kita akan menemui talang yang kedua (talang dua), biasanya di sisi kiri jalan sudah mulai banyak papan nama yang bertuliskan ‘ahli mengobati patah tulang’. Berjarak sekitar 3-5 meter dari talang dua ini, ada jalan raya ke kiri yang agak menanjak. Di ujung jalan ini dipenuhi tukang ojek. Kondisi jalan sudah beraspal dan tidak berapa lebar sehingga menyulitkan jika ada 2 mobil yang berpapasan dari arah yang berlawanan.
Tarikolot
Rombongan kemedian menyusuri jalan aspal yang agak sempit namun bisa dilalui satu mobil ini. Melewati jalan yang berliku, naik turun, rumah penduduk, persawahan dan setelah sekitar 2-3 kilometer akan bertemu dengan simpang 3, dengan papan penunjuk jalan bertuliskan ‘Tarikolot’. Maka berbeloklah ke kiri, ke arah tarikolot, dengan jalan yang menurun dan sempit. Berada di daerah yang tergolong cukup tinggi, hawa di tarikolot tergolong sejuk dan menyegarkan.
Tidak jauh dari simpang tiga ini, di sebelah kiri jalan kita akan menemui rumah salah seorang tokoh dan sesepuh pencak silat Cimande, Bpk Ace Sutisna.
Cimande, Sungai yang mengalir
Gerimis menymabut rombongan, ketika keluar dari mobil dan bergegas menuju rumah Pak Ace Sutisna yang sebelumnya sudah diberitahu via sms.
Setibanya di rumah kami disambut oleh Pak Ace, juga anaknya Kang Asep. Bagi yang pertama kali bertemu, sosok Pak Ace memang terkesan biasa saja. Tidak terlihat kesan sangar bahwa dia seorang pendekar Cimande yang mumpuni. Tubuhnya malah tergolong kecil dan kurus tanpa kumis atau jenggot yang menyeramkan. Tidak juga telihat akar bahar dan gelang hitam di pegelangan tangnnya, sebagaimana citra dan kesan orang akan pendekar cimande nan sakti.
Soal penampilannya ini, Pak Ace berkisah, pernah ada tamu dari jawa timur atau daerah lainnya yang ketika bersalaman dengan beliau dengan ragu bertanya untuk memastikan apa benar berhadapan dengan Pak Ace yang Pendekar Cimande. Kendati sudah dijawab bahwa beliau sendiri adalah Pak Ace, tamu tersebut masih juga kurang percaya,sehingga dalam pembicaraan selanjutnya tidak kurang hingga tiga kali tamu tersebut bertanya lagi memastikan apa benar berhadapan dengan Pak Ace yang terkenal itu. Mungkin citra pendekar cimande yang dibayangkan berbeda dengan kenyataan.
Sungguh, kita tidak bisa menilai orang sekedar dari penampilan lahiriah/luarnya. Kata thukul “itu kan Chasing-nya”…?
Lalu Pak Ace mulai bertutur soal Cimande. Menurut beliau, Desa Tarikolot dapat dianggap sebagai sumber dan asal usul cimande. Di desa ini yang kebanyakan adalah keturunan Eyang Rangga, yang memiliki murid berbakat yaitu Mbah Khair (Pencipta Cimande), yang di kemudian hari terkenal dan diyakini sebagai pencak silat Cimande. Hingga saat ini ilmu warisan karuhun tersebut masih dilestarikan dan terus dikembangkan khususnya di Kampung Tarikolot, Desa Cimande.
“Bisa dikatakan setiap rumah berlatih dan memiliki tradisi cimande sendiri sendiri”, ujar Pak Ace. Memang kendati Cimande diyakini diciptakan oleh Eyang (Mbah) Kahir, beliau tidaklah memiliki keturunan, sehingga para muridnya dan keturunan dari Eyang Ranggalah yang melestarikan dan meneruskan amanat leluhur ini.
Cimande sendiri adalah nama sungai di bawah desa yang mengalir dan di tepi sungai itulah dulunya Eyang Khair tinggal sehingga aliran pencak silat yang diwariskan oleh beliau dinamakan aliran cimande. Di dekat sungai inilah dulunya Eyang Khair bertempat tinggal dan di sungai tempat murid-murid Cimande berlatih maenpo. Belakangan makna baru diberikan bagi nama cimande baik dalam konteks bernuansa religi maupun budaya sunda.
Cimande sebagai sumber dan memiliki 5 aspek
Pak Ace menjelaskan bahwa cimande memiliki 5 aspek, dan bukan sekedar 4 aspek, dalam maenpo-nya (pencak silat sunda) yaitu aspek olahraga, seni budaya/tradisi, beladiri, spiritual dan pengobatan. Aspek terakhir yaitu pengobatan termasuk pijat/urut gaya cimande dan pengobatan patah tulang.
Dalam proses pijat dan pengobatan ini biasanya digunakan minyak cimande. Ditambahkan oleh Kang Asep, anak kandung dari Pak Ace, bahwa semuanya berasal dari pencak (maenpo) cimande. Minyak cimande yang unsurnya pembuatnya terdiri dari minyak kelapa dan sari tebu dan lainnya ini, dulunya dinamakan ‘minyak pencak’. Minyak ini digunakan ketika berlatih sambut tangan dalam aliran cimande.
Demikian juga tehnik dan cara pengobatan patah tulang, yang belakangan berkembang untuk pengobatan kesehatan lepas dari pencak silat, sebagai pelayanan kepada masyarakat. Pengobatan patah tulang sebenarnya adalah bagian dari pelajaran pencak cimande akan pengenalan anatomi tubuh; termasuk kekuatan dan kelemahannya serta bagaimana cara memperbaiki atau merusaknya. Tentu saja dalam pengobatan patah tulang adalah bagaimana cara memperbaikinya.
Dalam memberi pelayananan urut atau pengobatan patah tulang, umumnya ahli atau pendekar cimande kurang mau mempublikasikan diri. Agar menghindari ria-takabur sebagaimana diamanatkan oleh talek Cimande. Pada kesempatan yang langka ini, banyak juga anggota rombongan, termasuk penulis, yang merasakan langsung pijatan dan urut-an khas cimande lengkap dengan minyak cimande yang demikian cepat meresap ke kulit..
Pencak Silat Cimande
Dalam pandangan Pak Ace, pencak silat cimande sebenarnya bagian dan keseharian dari kehidupan kita manusia. Misalnya jika ada yang mau memukul, secara refleks tangan kita menagkis. Atau jika mau jatuh, maka tubuh dan kaki kita langsung menyesuaikan.
Hanya saja oleh Abah Khair, hal tersebut diramu dan dirumuskan dalam bentuk pelajaran yang tersistematis dan gampang untuk dipelajari..Jadilah maenpo Cimande.
Seperti sudah banyak diketahui khalayak, aliran cimande terdiri dari 33 jurus kelid cimande, pepedangan dan tepak selancar. Tangan adalah permainan dominan. Kaki lebih merupakan pancer dan tempat berpijak yang harus dijaga keseimbangannya.
Menurut Kang Asep, saat ini cara berlatih cimande sedikit disempurnakan , yaitu dengan cara menghapal jurus etrlebih dahulu dengan benar hingga 33 jurus, sambut berpasangan, lalu belajar pepedangan dan diakhiri dengan tepak salancar.
Dengan hapal dulu jurus yang 33 itu diharapkan siswa dapat mengetahui gerakan yang benar, cara menangkis, mengelak , memukul dan lain lain. Dalam satu jurus ada yang satu gerakan atau 4-5 gerakan,.
“Sederhana dan tidak panjang-panjang sehingga gampang dihapal”, tukas Kang Asep. Sesudah itu diolah lebih lanjut dalam rangkaian gerak baik dalam bentuk sambut berpasangan dengan posisi duduk (atau kadangkala berdiri) yang disusul dengan pepedangan. Dalam “sambut-tangan” dalam duduk berpasangan ‘mengadu tangan’, dengan tingkat kekuatan tenaga yang semakin meningkat. Akhir semua pelajaranbaru diberikan tepak salancar.
Cara ‘adu tangan’ ini juga sebenarnya banyak tehnik dan menggunakan tenaga dengan efektif. Hal inilah yang mengesankan bahwa praktisi Cimande memiliki tangan yang kuat laksana besi dengan otot-otot kawat yang keras dan pejal. Tapi melihat tangan Pak Ace dan Kang Asep, terlihat biasa saja, seperti tangan orang biasa, tidak tampak otot-otot menonjol bak atlit binaraga. “Tangan yang kuat diperlukan untuk membendung serangan lawan”, kata Kang Asep. Sebagai sarana pertahanan dan sekaligus alat serangan, tangan dalam cimande mendapat latihan secara khusus, melalui sambut maupun latihan benturan lainnya.
Prihatin
Menilik perkembangan Cimande sebagai aliran silat yang besar dan berpengaruh dalam jagat persilatan dunia, Pak Ace sebenarnya turut berbesar hati. Namun hal tersebut kurang diimbangi dengan kuatnya persatuan dan persaudaraan pada tubuh internal kelaurga cimande khusunya mereka yang berada di desa tarikolot sebagai pusat dan sumber cimande. “iutlah sebabnya saya tidak setuju nama cimande dibawa-bawa dalam kegiatan dukung mendukung kontestan pilkada atau berpolitik lainnya”, tegas PakAce.
Sebagai suatu aliran, cimande hendaknya netral dan lebih menekankan faktor budaya dan akhlak sesuai talek cimande, yang adalah semestinya pegangan utama para pelaku Cimande. Belum lagi kalo mengalami ‘kejatuhan’ maka akan merusak cimande secara keseluruhan.
Kendari demikian tetap saja, sebagai manusia, masih ada kelemahan. Ada yang silau oleh kesaktian hingga mengklaim bahwa ilmu kanuragan adalah bagian yang tidak terpisahkan dari Cimande. Ada yang terperangkap oleh jeratan fulus alias duit sehingga mau melakukan apa saja yang tidak ada hubungan dengan pencak silat ataupun semata demi komersialisasi sehingga dengan mudah dimanfaatkan pihak luar untuk kepentingan mereka. Kendati kita dapat menemui beberapa padepokan cimande yang ada di Desa Tarikolot, sayangnya antara satu padepokan dengan yang lainnya terjalin hubungan yang agak longgar dan kurang rapat-erat.
Sungguh suatu kondisi yang memprihatinkan, ungkap Pak Ace. Sambil berharap agar keadaan dapat lebih baik dengan berbagai daya upaya untuk memperbaikinya.
==
Inilah Cimande dengan berbagai kelebihan dan masalahnya. Tidak bisa dipungkiri bahwa Cimande tetaplah kekayaan budaya bangsa Indonesia yang wajib kita lestarikan bersama.
Setelah ‘mengecap’ Cimande dan bersentuhan langsung dengan pendekar-nya, rombongan FP2STI pun kembali ke Jakarta, ketika gelap mulai turun dan malam yang mendung datang menjelang.
Jakarta, 27 Desember 2007
Ian Syamsudin
Artikel ini pernah di Publikasi di Koran POSKOTA pada bulan Januari 2008